19 August 2024

Mencari Bunga Rafflesia di Kebun Raya Bogor

Di masa liburan yang tidak lama, aku pergi ke Jakarta bersama adikku. Dari Jakarta, kami pergi ke Kebun Raya Bogor menggunakan commuter line bersama tetehku. Tarifnya sangat murah, yakni hanya Rp5000 untuk sekali perjalanan. Untuk membayar tarif ini, kita harus menggunakan kartu emoney. Untungnya, aku sudah membeli kartu emoney ketika masih di bandung. Juga sudah mengisi saldo kartunya.

Dari stasiun bogor, kami masih harus naik angkot ke gerbang tiga Kebun Raya Bogor. Tarifnya sama, hanya Rp5000. Tapi, kali ini harus pakai uang tunai, tidak lagi pakai emoney.

Sesampainya di gerbang, kami membeli tiket untuk tiga orang. Harga tiket Kebun Raya Bogor adalah Rp15.500 per orang. Kita bisa membayarnya menggunakan uang tunai maupun via qris. Terserah pengunjung aja deh pokoknya.

Setelah tiket dibeli, kami langsung berjalan mengelilingi kebun raya. Hari itu, mataharinya terik sekali. Membuat kami kepanasan ketika berjalan ke sana kemari. Tetapi jujur saja, pemandangan yang disajikan sungguh menakjubkan. Rumput dan pohon hijau di mana-mana. Ditata sedemikian rupa sehingga sedap dipandang mata.

Di beberapa sisi, terdapat pepohonan yang cukup rimbun sehingga kami bisa berteduh di bawahnya. Dari rumah, kami membawa karpet yang bisa dilipat dan dibentuk menjadi tas. Digelarlah karpet itu di sekitar pepohonan yang rimbun. Kemudian kami duduk di atas karpet sembari memakan camilan yang sudah dibeli ketika masih di statsiun.

Sayangnya, kami belum membeli nasi. Padahal kami belum sarapan sedari pagi. Jadi, kami hanya memakan camilan saja.

Setelah perut kami terisi camilan, kami melanjutkan perjalanan untuk mengelilingi kebun raya. Hari makin siang, matahari makin terik. Tapi pepohonan rimbun meneduhkan sekitar dan membuat suasana makin segar.

Tetehku, berambisi untuk mencari bungga Rafflesia, bunga dengan bau menyengat yang sering tampak di buku sekolah. Kami terus berjalan dan berjalan mencari bunga itu dengan petunjuk peta yang terpampang di beberapa titik dan penunjuk jalan.

Sayangnya, bunga itu tak kunjung ditemukan. Kami kelelahan dan akhirnya mencari tempat teduh untuk kembali beristirahat. Tepat saat itu, sudah tiba waktunya salat zuhur. Tapi berhubung teteh dan adikku sedang halangan, jadi aku sendiri yang pergi ke musholla untuk melaksanakan salat. Sementara mereka menunggu di tempat teduh dengan menggelar karpet sambil menunggu pesanan makanan datang (kami memesan makanan lewat online).

Sekitar setengah jam kemudian, aku kembali ke tempat mereka berada. Makanan sudah terhidang beserta air kemasan dalam botol dan kami pun menyantap makanan itu.

Tak butuh waktu lama, makanan itu akhirnya habis dan kami bersiap untuk pulang. Kami mengumpulkan sampah untuk dibuang ke tempatnya, melipat karpet, dan membereskan tas yang dibawa untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Kemudian berjalan menuju gerbang 1, gerbang yang paling dekat dari lokasi kami berteduh sebelumnya. Dan tentu, membuang sampah bekas makanan ke tempat sampah terdekat.

Di gerbang 1, kami menjumpai beberapa satpam yang sedang berjaga. Kepada salah satu dari mereka, kami bertanya perihal bunga rafflesia. Katanya, bunga rafflesia sedang tidak terbuka untuk dikunjungi karena belum waktunya mekar. Sedangkan bunga rafflesia hanya mekar beberapa bulan sekali.

Pikirku, alangkah beruntungnya orang yang mengunjungi kebun raya ini ketika bunga rafflesia mekar. Karena mereka bisa menikmati momen yang langka dan jarang dijumpai banyak orang. Meski begitu, keindahan kebun raya tak akan berkurang walau bunga Rafflesia belum mekar. Jadi kita tetap bisa merasakan keindahan dan pemandangan yang menakjubkan!


02 August 2024

Buku Antologi Pertamaku: Cerita-Cerita di Depan Layar

Sedari dulu, salah satu keinginan terbesarku adalah menjadi penulis buku. Oleh karenanya, aku suka menulis di blog dan menjadi salah satu Kompasianer (blogger Kompasiana). Ini adalah salah satu usahaku untuk terus membiasakan menulis. Ya walaupun akhirnya, nulisnya gak setiap hari juga, hehe.

Walaupun sudah lama bergabung sebagai Kompasianer, aku baru tahu bahwa Kompasiana memiliki banyak komunitas di platform-nya pada tahun kemarin. Komunitas yang pertama aku temukan adalah KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub). Tak pikir panjang, aku pun langsung mengikuti komunitas tersebut di Kompasiana dan media sosialnya.

Tak berselang lama sejak aku menjadi anggota baru, KOMiK memposting sebuah pengumuman tentang event menulis buku antologi di berandanya. Event tersebut bertemakan “Momen Nonton Layar Lebar”. Nah, berhubung tema yang diangkat ini cukup ringan, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengikuti event tersebut.

Event ini berlangsung selama 8 hari sejak dipostingnya pengumuman tersebut, yaitu 16 Oktober 2023. Jadi Komiker (sebutan untuk anggota KOMiK) memiliki kesempatan untuk mengirim naskahnya ke email dan Kompasiana sampai tanggal 23 Oktober.

Untungnya, aku masih berkesempatan untuk mengirim naskah di detik-detik terakhir pengumpulan. Yap, aku baru menulis setengah naskah H-1 deadline, dan baru menuntaskannya tepat di hari H, tengah malam. Jujur agak panik ketika mengirimnya, karena sudah tengah malam. Sampai akhirnya, naskahku baru terkirim ke email KOMiK pada menit-menit awal 24 Oktober. Haha. Lewat deadline loh. Gara-gara itu, aku jadi khawatir naskahnya tidak akan terhitung untuk event tersebut.

Selang seminggu kemudian, aku mendapatkan email dari KOMiK, yang mengkonfirmasi bahwa naskahku sudah diterima dan akan diproses ke penerbit. Wah, jelas, senangnya bukan main deh! Aku sampai teriak-teriak sendiri di rumah saking senangnya, haha.

Dari email tersebut, aku pun mencari tahu info lebih lanjut di Instagram @komik_kompasiana. Ternyata, ada 23 nama komiker yang tulisannya dimasukkan di buku antologi. Dan namaku adalah salah satunya.

Tak diduga, sebuah postingan tentang cover buku antologi langsung muncul dua hari setelahnya. Pengikut @komik_kompasiana diminta untuk vote cover pilihannya. Saat pemilihan cover, judul buku yang diberikan adalah “Momen-Momen Berkesan Nonton Layar Lebar”. Namun, terdapat beberapa komentar yang menjadi pertimbangan untuk judul buku. Ternyata, secepat itu ya, hehe.

Beberapa hari kemudian, muncul lagi postingan bahwa buku antologi sudah bisa dipesan! Judul bukunya berubah menjadi “Cerita-Cerita di Depan Layar” dengan sampul buku berwarna dasar putih disertai gambar khas sinema berwarna-warni. Buku ini tersedia dalam dua versi cover, yaitu soft cover dan hard cover dengan harga yang berbeda.

Tak pikir panjang, tentu saja aku langsung memesan buku tersebut melalui marketplace Shopee dengan catatan bahwa aku adalah salah satu penulisnya. Beberapa hari kemudian, buku itu tiba di rumahku dengan bonus barang lainnya, seperti kipas tangan, gantungan kunci, plastic zip, dan sertifikat untuk penulis.

Meski ini masih “buku keroyokan”, setidaknya ini menjadi pengalaman pertamaku untuk menulis buku yang dicetak, setelah penantian yang cukup panjang sejak sd, wkwk. Lebay ah. Haha.

Sebenarnya, aku juga pernah mengirim tulisanku ke media massa, yaitu Media Indonesia. Tapi saat itu, aku hanya mendapatkan versi digitalnya saja. Jadi tidak ada versi cetaknya. Itu pun karena ada anjuran dari mata kuliah jurnalisme dakwah. Tapi lagi-lagi, setidaknya, ini adalah bagian dari perjalananku yang dulu pernah bercita-cita menjadi “penulis buku”.

Terus, kapan dong bikin buku solonya?

Kapan-kapan, kalau gak males.

06 July 2024

Perpustakaan Batu Api, Perpustakaan Favorit Mahasiswa Bandung Timur dan Jatinangor

Perpustakaan Batu Api

Mahasiswa semester akhir, biasanya sibuk mencari referensi untuk mendukung tugas akhirnya. Sekarang ini, bisa dibilang, cukup mudah untuk mendapat referensi yang menyangkut mata kuliah. Di online, kita bisa menemukan referensi melalui jurnal, ebook di Play Book, ebook di ipusnas, atau di perpustakaan online masing-masing kampus. Sedangkan di offline, kita bisa menemukan referensi melalui perpustakaan-perpustakaan di sekitar tempat tinggal atau kampus.

Nah, jika kamu adalah mahasiswa di kampus Bandung Timur atau sekitar Sumedang, ada satu perpustakaan kecil yang bisa jadi incaran kamu untuk mendapatkan referensi. Ialah Perpustakan Batu Api, yang berlokasi di Jalan Pramoedya Ananta Toer 142A, Jatinangor, Sumedang.

Letak perpustakaan ini sangat dekat dengan Jatoz (Jatinangor Town Square) yang berada di pinggir jalan raya. Untuk ke perpustakaan ini, hanya terhalang oleh satu toko buku dari Jatoz. Jadi bisa dibilang, perpustakaan ini sangat bisa diakses oleh pengendara sepeda motor maupun pengguna angkutan umum.

Sekilas, perpustakaan ini tampak seperti bangunan rumah biasa. Tak heran, banyak orang yang tak menyadarinya bahwa bangunan tersebut adalah sebuah perpustakaan. Tapi jika kamu adalah orang yang suka memperhatikan bangunan sekitar, mungkin kamu akan menyadari adanya tulisan “Perpustakan Batu Api” di balik pagar bangunan tersebut ketika melewatinya.

Baca juga: Museum Gedung Sate, Wisata Sejarah di Kota Kembang

Tampak Depan Perpustakaan Batu Api

Untuk memasuki perpustakaan ini, kita tidak harus membayar biaya apapun. Kita bisa langsung masuk dan memilih buku mana yang akan dibaca. Namun, kita tidak boleh memfoto isi buku sembarangan. Jika ingin memfoto isi buku, maka kita harus bayar Rp500 per halamannya kepada penjaga perpustaakaan tersebut, Pak Anton.

Jika ingin membaca buku di perpustakaannya, kita bisa membaca di dalam ruangannya ataupun di teras perpustakaan. Teras perpustakaan tersebut serupa dengan teras rumah untuk menyambut tamu. Terdapat sofa, meja, dan sebuah papan putih bertuliskan “PERPUSTAKAAN BATOE API”.

Teras Perpustakaan

Namun, bangunan perpustakan tersebut tidak terlalu luas untuk menampung banyak pengunjung. Oleh karenanya, pengunjung tidak disarankan untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Sebagai gantinya, pengunjung bisa memfoto isi buku dengan membayar Rp500 per halaman atau meminjam buku dengan membayar Rp5000 untuk satu pekan.

Sebelum diperbolehkan meminjam buku, pengunjung harus mendaftar sebagai anggota perpustakaan terlebih dulu. Untuk mendaftar sebagai anggota, kita harus mengisi formulir pendaftaran anggota dan membayar sebesar Rp20.000. Setelah terdaftar, kita akan diberikan kartu keanggotaan. Ini adalah kartu anggotaku di Batu Api. Di sini, tercatat bahwa aku adalah anggota yang ke 16.830 di perpustakaan ini.

Sebenarnya, tak heran juga ketika mengetahui bahwa aku adalah anggota yang kesekian ribu. Karena rupanya, Perpustakaan Batu Api ini telah berdiri sejak tahun 1999. Tepatnya, di tanggal 1 April. Jadi tahun ini, Batu Api tepat telah berusia 25 tahun.

Meski memiliki bangunan yang tidak terlalu luas, tetapi buku yang dikoleksi di perpustakaan ini sangat banyak, lo. Banyak jenis buku yang dikoleksi di sini, mulai dari buku fiksi hingga nonfiksi, seperti sejarah, seni, budaya, bahasa, hingga teori, dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tak heran, banyak mahasiswa yang mampir ke perpustakaan ini untuk menambah sumber bacaannya.

Jika kamu ingin ke sini, silakan datang di hari Senin – Sabtu pukul 10 pagi hingga 6 sore. Jangan lupa, ajak juga temanmu untuk ke sini.




16 April 2024

Curug Panjang: Wisata Curug di Puncak Bogor

Curug menjadi salah satu tujuan bagi banyak orang untuk menghabiskan waktu liburan atau akhir pekan. Kesegaran dan keindahan alam di sekitar curug menjadi salah satu alasan mengapa wisata curug diminati banyak orang. Ditambah lagi, biasanya, air di curug juga lebih jernih dibanding air yang kita lihat di sungai-sungai tengah kota. Benar-benar membuat otak dan diri kita menjadi lebih segar ketika menghindari hiruk-pikuk ramainya perkotaan.

Salah satu curug yang mesti dikunjungi adalah curug panjang yang berlokasi di Kampung Situhiyang, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, tepatnya di lereng Gunung Paseban. Lokasi ini termasuk puncak bogor, loh.

Seperti halnya menempuh perjalanan menuju curug-curug lainnya, kita mesti melewati jalanan yang hanya cukup untuk 1 mobil, disertai belokan-belokan di antara kebun dan jurang. Yang jelas, tidak ada kendaraan umum untuk sampai ke sana. Kalau pun ada, mungkin sedikit sekali. Jadi sebaiknya kita gunakan kendaraan pribadi. Kalau tidak ada, ya bisa sewa kendaraan seharianlah.

Untuk memasuki curug panjang, kita hanya perlu membayar tiket sebesar Rp15.000 per orang dengan biaya parkir motor Rp5.000 dan mobil Rp10.000. Tapi khusus turis asing, biaya tiketnya menjadi Rp50.000 per orang.

Baca juga: Inggit Garnasih, Calon Ibu Negara Indonesia

Setelah melewati loket tiket, kita mesti berjalan kaki untuk sampai ke curug. Tenang saja. Jaraknya tidak terlalu jauh kok. Sedangkan untuk trek jalannya, memang agak licin. Tapi masih ada jalan yang memiliki pijakan-pijakan bebatuan dan aman untuk dilewati. Setidaknya, tidak terlalu curam.

Begitu sampai curug, kita akan disuguhkan dengan pemandangan air terjun yang begitu indah dan asri. Air terjunnya begitu lebat dengan warna air yang sangat bening, bersih dari kotoran. Tak heran banyak orang yang meramaikan curug panjang di akhir pekan.

Meski begitu, kita mesti berhati-hati ketika bermain di sekitar curug. Bahkan jika kamu ingin benar-benar berenang, sebaiknya gunakan pelampung yang disediakan di sana. Karena katanya, kedalaman curugnya sampai 7 meter loh. Pokoknya, stay safe ya selama di sana.

Selain disuguhi suasana yang asri dan sejuk, kita juga bisa membeli makanan atau minuman di beberapa warung sekitar curug. Mulai dari minuman hangat, mie, dan makanan lainnya. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum ya, kalau harga jajanan di tempat wisata itu, cenderung agak tinggi dari biasanya. Jadi ya, alangkah baiknya kalau kita bawa bekal makan dan minum sendiri dari rumah, hehe.

Jika kamu merasa cukup lelah setelah bermain air sepuasnya, jangan lupa mandi! Haha. Tapi tenang aja. Tarif kamar mandi di sana masih normal kok. Rp3000 saja untuk sekali mandi. Jangan lupa bawa pakaian ganti dan sabun dari rumah ya. Karena tidak ada tempat pembelian baju dan sabun di sana, hehe.

Biar agak terbayang dengan keindahan curugnya, aku mau spill beberapa foto yang diambil di sana. Semoga kamu suka!






 

 

 

08 April 2024

3 Bulan Magang di Republika Jabar

Kantor Republika Jawa Barat

Di kampusku, ada kewajiban untuk magang ketika liburan semester 5. Pas lagi bingung-bingungnya nyari tempat magang, aku ditawari temanku, Iva, untuk ikut magang bersamanya di Republika Jawa Barat. Setelah dipikirkan ulang, akhirnya aku mengiyakan tawarannya untuk magang di sana. Lumayan, biar ada teman juga.

Rupanya, kita magang di sana gak cuma berdua. Iva lebih dulu ditawari Ihsan, pacarnya, yang pernah ke kantor ReJabar (singkatan Republika Jawa Barat) untuk tugas industri visit. Untungnya, kita gak bertiga. Ada Kinan juga yang mau magang di sana. Setidaknya, aku gak akan jadi nyamuk di antara mereka berdua. Tapi sayangnya, Kinan gak jadi magang di ReJabar dan lebih memilih magang di kota kelahirannya. Dan seolah digantikan, tiba-tiba ada Haikal juga yang akhirnya ikut magang kami bertiga. Jadi, fix-nya, ada empat orang yang magang di ReJabar.

Akhir Desember 2023, kami pergi ke kantor pertama kali untuk menjumpai atasan di Republika. Dan, kami langsung diterima. Hanya saja, ReJabar mengharuskan kami magang selama 3 bulan. Padahal, kami hanya diwajibkan magang selama 1 bulan oleh jurusan. Jadi mau gak mau, kami harus kuliah sambil magang di 1 bulan terakhir masa magang. Tapi ya, gak papa juga. Toh nanti bakal terlewat juga kok.

Esok harinya, kami kembali ke sana untuk mulai magang. Tapi yang tidak kutahu, ternyata sudah ada Syfa dan Silmi yang juga magang di sana. Singkat cerita, di pertengahan Januari, jumlah peserta magang bertambah menjadi 13 orang. Itu pun berasal dari jurusan dan kampus yang sama, yakni KPI UIN BDG, dan 2 orang lagi dari kampus STIKOM.

Selama magang, kami diwajibkan hadir di kantor, setidaknya 3 hari per minggu. Selain ke kantor, kami juga mesti liputan. Bisa di 3 hari itu, atau kalau mau, bisa juga di hari lainnya.

Tapi, berbeda dari yang kukira, ternyata kami diprioritaskan untuk membuat konten media sosial. Jadi ketika kami liputan, ya liputannya untuk konten video. Ada scriptwriter, videografer, editor, dan voiceover, atau talent kalau diperlukan.

Baca juga: Jembarati, Penginapan dengan Pemandangan Gunung Merapi

Jujur, menurutku ini seru. Kami ditugaskan liputan ke tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah aku singgahi. Katakan saja, seperti Pasar Loak Astana Anyar dan Museum Inggit Garnasih yang berlokasi tak jauh dari Taman Tegalega. Karena selama ini, kalau aku jalan-jalan, ya gak jauh-jauh dari Asia Afrika dan Braga. Whehe.

Tapi, meski sering main ke Braga, ternyata ada juga tempat yang belum aku tahu. Salah satunya Pasar Antik Cikapundung. Haha. Lokasinya memang sering dilewatin kalau lagi jalan-jalan. Tapi Pasar Antik itu berada di lantai 3 di dalam gedung Cikapundung Electronic Center (CEC). Jadi ya aku tidak tahu. Masuk CEC saja aku jarang.

Selain itu, kami juga berkesempatan untuk meliput kondisi Braga pasca banjir pada awal Januari lalu. Yap, di balik estetiknya Braga yang terlihat di konten-konten media sosial, ada daerah pemukiman yang terdampak banjir akibat hujan deras. Hal itulah yang tidak terlihat orang-orang. Dan aku merasa beruntung pernah liputan langsung ke lokasi kejadian.

Pengalaman yang lebih langka lagi, yaitu saat aku berkesempatan untuk liputan di Gedung Sate. Ya kapan lagi aku masuk Gedung Sate kalau bukan untuk liputan kan? Haha.

Ternyata, pintu masuk Gedung Sate dijaga cukup ketat. Saat itu, acaranya adalah Launching Aplikasi Surabi dengan sambutan oleh PJ Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin. Untungnya, waktu itu aku ke sana bareng Haikal, yang udah pernah liputan ke Gedung Sate sebelumnya. Setidaknya, aku gak planga-plongo banget deh 😆.

Di akhir masa magang, tepatnya di pertengahan bulan Ramadan, aku liputan ke Masjid Lautze 2 bersama Kania dan Silmi. Karena momennya lagi Ramadan, jadi kami ambil sudut pandang bagi-bagi takjil di sana. Jujur, ini cukup berkesan sebagai liputan terakhirku. Karena tak hanya dipersilakan untuk mengambil video dan wawancara, kami juga disuguhkan takjil dan seporsi makanan ketika Maghrib tiba.

Benar-benar berkah banget deh. Belum lagi, suasana di sana begitu hangat, bagai melihat sebuah hubungan kekeluargaan meski tak ada hubungan darah. Yang bikin lebih kagum, ketika diwawancara, pengurus masjid menjawab bahwa donatur takjil dan ifthar di masjid ini berasal dari berbagai kalangan. Tak hanya yang beragama Islam. Orang-orang dari agama lain pun turut menyumbangkan hartanya untuk takjil dan ifthar. Benar-benar terkagum, kayak yang, Masya Allah, perbedaan agama benar-benar tak menghalangi kebersamaan di Indonesia ini.

Di tiga hari ketika kami ke kantor, kalau lagi gak liputan, kami mengobrol bersama atasan di Republika. Ada Pak Gunadi yang banyak bercandanya, Pak Opik yang ngajak bercanda tapi kadang serius juga tanpa diduga, Pak Edi yang lembut sekali kalau bicara, Pak Sandy yang masih muda tapi luas sekali wawasannya, atau siapa saja yang menyempatkan diri untuk mengobrol dengan kami di sela kesibukannya.

Tentu banyak ilmu yang didapat dari mereka. Dari mulai ilmu jurnalistik, sampai ilmu hitam (kecurangan di negeri ini) juga pernah disampaikan. Pokoknya nambah wawasan banget deh.

Di satu bulan terakhir magang, tiba-tiba kami dianjurkan untuk liputan dengan output tulisan. Itu pun tidak serta merta semua peserta magang harus nulis. Melainkan sesuai inisiatif diri mereka sendiri. Kalau mau, ya tinggal bilang ke Bu Arie, pimpinan redaksi ReJabar. Nanti beliau yang mengarahkan, kita harus liputan apa dan ke mana.

Ketika pertama kali mengajukan liputan ke Bu Arie, aku ditugaskan untuk liputan ke Gedung Sate seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, bersama Haikal. Tapi kali ini, kami ditugaskan untuk transkrip pidato Pj Gubernur dalam acara dan memotretnya saja. Jadi kami tidak benar-benar menulis sebuah berita.

Di liputan kedua, barulah aku ditugaskan untuk menulis sebuah feature. Tema feature-nya adalah dampak kenaikan harga beras bagi pemilik warung nasi dan ibu rumah tangga. Jadi, aku liputan dulu ke beberapa warung nasi untuk mewawancarai pemilik atau pegawainya. Tapi ya, namanya juga liputan, ada saja beberapa orang yang menolak untuk diwawancara. Alasannya, takut salah ngomong. Alhasil, aku harus cari warung nasi lain agar bisa mewawancarai pemiliknya.

Sepekan setelah liputan, aku baru menyelesaikan tulisannya karena terkendala beberapa hal. Selain itu, aku juga sempat mengikuti pelatihan konten kreator dulu di Bogor. Jadi transkripnya tertunda deh.

Beberapa hari kemudian, tulisanku benar-benar dipublikasi di website ReJabar. Meski begitu, tulisanku tidak lepas dari kesalahan tentunya. Ada beberapa sisi yang dikoreksi Bu Arie agar tulisanku layak tayang di ReJabar.

Liputan ketiga, aku ditugaskan untuk pergi ke tempat ngabuburit di Kota Bandung. Meliput kegiatan apa yang ada di sana dan mewawancarai pengunjungnya. Karena Bu Arie tidak menentukan tempat spesifiknya, jadi aku pilih saja Gasibu sebagai tujuannya. Sekaligus jalan-jalan sore juga ceritanya.

Selang beberapa hari, tulisanku dipublikasi di web ReJabar setelah dikoreksi Bu Arie sebelumnya. Sayangnya, ini menjadi tulisan kedua dan terakhirku di ReJabar. Karena masa magangku hampir habis dan aku pun mesti membagi waktu dengan kuliah.

Setidaknya, inilah sedikit ceritaku selama aku magang di Republika Jawa Barat. Sebenarnya masih banyak cerita lainnya. Tapi terlalu panjang untuk diceritakan di sini.

Pada intinya, magang di ReJabar itu seru. Tapi kita emang mesti menyesuaikan diri aja sama aturan di sana. Dan yang penting juga, harus  inisiatif kalau misalnya mau bikin konten atau liputan apa pun.

Sekian.

19 March 2024

Pemilu 2024: Tinta Ungu Pertama di Hidupku

 Telah sebulan berlalu, pesta demokrasi digelar serentak  di seluruh wilayah Indonesia. Dan nampaknya, hari ini, kita bisa lihat siapa orang selanjutnya yang akan memimpin negara Indonesia.

Tahun ini adalah pertama kalinya aku ikut terlibat dalam pemilihan presiden. Dan baru di tahun ini pula, aku jadi sering nonton konten politik mengenai ketiga cawapres yang terus-menerus kampanye sebelum Pemilu digelar.

Setelah semuanya berlalu, aku tersadar suatu hal. Bahwa tiktok tidak hanya berpengaruh pada dunia hiburan semata. Tapi juga berpengaruh di dunia politik untuk membangun citra para caleg maupun cawapres.

Sayangnya, tidak semua konten di tiktok itu benar-benar sebuah fakta. Apalagi soal politik. Beuh, banyak sekali propaganda yang muncul dan menyudutkan cawapres lain. Jika ada konten yang benar-benar sesuai fakta, kemungkinannya ada dua: mungkin, itu adalah akun milik media; atau pemilik akun itu yang benar-benar kritis.

Di masa politik, bukan sekali dua kali aku melihat konten yang menyudutkan cawapres lain. Bilang ada pengkhianatan kah, bilang ada yang dipecat dari menteri karena suatu kasuslah. Yang begitu-begitu, kalau penontonnya kurang melek politik, mungkin akan ikut terbawa arus dan ikut memojokkan cawapres lain. Dan sebagaimana yang kita tahu, tidak semua pengguna tiktok itu berasal dari kaum terpelajar. Ya minimal, lulus SMA gitu. Jadi ya, warga Tiktok cukup mudah untuk diambil perhatian dan emosinya.

Semua itu nampak jelas setelah hasil quick count usai pemilihan presiden ditampilkan di layar kaca. Terlihatlah siapa pasangan yang memenangkannya. Terlihatlah siapa yang paling "mencuri" perhatian warga Tiktok dengan buzzer-buzzernya.

Oh ya, jangan salah. Para buzzer itu jelas dibayar oleh suatu pihak agar menyebarkan konten mengenai cawapres yang didukungnya dan memuja-muji cawapres dalam kontennya.

Baca juga: Tiga Fakta Jarimatika

Padahal, masyarakat lain sadar betul bahwa ada yang tidak beres dengan Pemilu 2024 ini. Dari salah satu sumber, aku pernah membaca bahwa Pemilu 2024 adalah Pemilu Indonesia terburuk sepanjang masa. Sial!

Aku tak ingin berpihak pada kecurangan, yang membangun dinasti keluarga dalam suatu pemerintahan. Hei, ini bukan negara kerajaan seperti Brunei Darussalam. Ini adalah Republik, maka tak semestinya ada dinasti kelurga dalam pemerintahan ini.

Di lain sisi, masyarakat mengagumi cawapres lain yang dipandang bisa membawa perubahan di negara Indonesia. Visi misinya lebih realistis, dan membawa demokrasi ke level tinggi dengan adanya interaksi tanya jawab antara cawapres dengan masyarakat. Dan itulah yang dirindukan para anak muda sekarang.

Beribu-ribu orang mendukungnya, mendatangi tempat kampanyenya tanpa undangan khusus ataupun dibayar sekian rupiah. Ini ajaib, banyak orang yang mengampanyekannya dengan sukarela, bahkan dengan kekreatifan yang dimilikinya.

Namun, semua itu seolah tidak ada apa-apanya dibanding pihak yang mendukung pembentukan dinasti keluarga. Segala harapan perubahan dari masyarakat hancur seketika setelah hasil penghitungan pemilihan presiden diumumkan.

Tak hanya masa kampanye yang meresahkan, usai Pemilu pun nampaknya banyak kecurangan. Beratus-ratus anggota KPPS dibuat kecewa karena data yang tercantum di aplikasi penghitungan suara berbeda dengan data yang dihitung secara manual. Bahkan perbedaannya tidak berhenti di angka puluhan, tapi sampai angka ratusan. Anehnya, suara yang melambung hebat hanya ada di salah satu paslon. Seolah-olah, ada pihak yang sengaja memanipulasi agar paslon yang dimaksud bisa melenggang ke istana negara.

Yang lebih membuat kecewa, puluhan petugas KPPS juga gugur setelah menunaikan tugasnya untuk mengawal Pemilu. Gajinya yang dibilang cukup besar per harinya diimbangi dengan keharusan petugas KPPS untuk bekerja dari pagi hingga larut malam dalam beberapa hari usai Pemilu serentak dilaksanakan.

Begitulah warna-warni Pemilu di tahun pertama tinta unguku. Membuatku menyadari bahwa pemerintahan sekarang memang sekejam itu. Seolah-olah, yang bersih disingkirkan, yang kotor dipelihara.

Oh ya, aku ingat ucapan seorang atasan di kantor tempatku magang, kurang lebih seperti ini: kalian gak perlu bingung milih presiden sekarang, karena ujung-ujungnya yang jadi presiden itu adalah yang berpihak pada elite global.