Kejadian ini dimulai saat awal liburan pesantren. Ketika Ine dan Rayhan ditakdirkan untuk bertemu pertama kalinya.
"Sarah, udah ada kang Rayhan di
depan." Mila memberitahu Sarah bahwa ia telah ditunggu pamannya di pintu depan
pesantren putri.
"Iya, Mba"
"Cepetan itu kang Rayhannya udah
nunggu dari tadi. Kasian"
"Iya, mba Mila. Ini aku lagi nunggu
mba Ine masih di kamar mandi"
Kebetulan, Ine datang pada saat itu
juga.
"Yuk, Sar." Ajak Ine sambil
merapikan kerudung segiempatnya.
"Benerin dulu kerudungnya, Ine"
perintah Mila greget.
"Iya. Ini lagi dibenerin" Ine
menyematkan jarum di balik dagunya.
"Jangan buru-buru, mba Ine. Awas
malah kena jarum lagi jarinya”
"Nah, udah kok. Rapi gak, Sar?"
"Rapi udah. Itu mang*nya Sarah udah
nungguin loh. Kasian daritadi. Katanya pengen bareng" Mila menyela saking
gregetnya.
"Hehe. Iya iya" Ine memakai jaket
merah muda yang cukup tebal miliknya. Karena cuaca di luar memang cukup dingin
saat itu.
"Udah siap, mba Ine?"
"Udah. Yuk"
"Oke"
"Mil, saya pulang duluan ya" Ine
bersalaman dengan Mila. Diikuti dengan Sarah yang juga bersalaman dengan Mila.
"Iya. Ati-ati"
"Assalamu'alaikum" Ine dan Sarah
mengucapkan salam bersamaan.
"Wa'alaikumussalam"
Baca juga : Jaket Merah Jambu 2 : Rumah
Ine dan Sarah keluar dari pintu
pesantren putri. Dan pada saat itulah, Ine dan Rayhan bertemu dan berkenalan.
"Mang" Sarah memanggil Rayhan yang
menghadap ke belakang.
"Eh, Sarah." Rayhan mengulurkan
tangannya, dan disambut oleh Sarah untuk bersalaman.
“Udah siap?"
"Udah, Mang"
Rayhan menengok ke arah perempuan
yang berdiri di samping keponakannya. Lalu tersenyum lembut dan dibalas senyum
kembali oleh perempuan berumur 24 tahun itu.
"Mba Ine, Mang" Sarah
memperkenalkan Ine terlebih dahulu sebelum Rayhan menanyakannya.
"Oh, iya.” Rayhan tersadar. “Saya
Rayhan"
“Kang Rayhan” Ine
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Okelah. Udah kenalan, kan
sekarang? Sekarang pulang, yuk” pinta Sarah.
“Eh. Ayo ayo”
Ketiganya pun berjalan
bersamaan. Rayhan disamping kanan, Ine di samping kiri, dan Sarah diantara keduanya.
Baca juga : Jaket Merah Jambu 3 : Keputusan
Tiba di terminal.
Rayhan mengusap-ngusap kedua lengan
dengan kedua telapak tangannya pula. Mengartikan ia sedang kedinginan saat itu.
Karena memang, kota Cirebon baru saja diguyur air hujan ketika mereka masih di
dalam mobil 20 menit yang lalu. Jadi, efek dinginnya masih terasa.
Kasihan kang Rayhan. Apa aku kasih
pinjem jaket aja kali, ya? Tapi kan warna merah muda. Dia malu gak ya pakenya?
pikir Ine
menimbang-nimbang. Biar sajalah, daripada nanti kang Rayhan malah sakit
nyampe rumah. Lagian juga rumah aku udah deket ini.
“Kang, kedinginan ya?” tanya Ine
memberanikan diri.
“Nggih, Mba. Cuacanya kan emang
dingin”
“Mau saya pinjamkan jaket?” Ine
menawarkan dan menaikkan kedua bahunya. Menunjukkan jaket yang sedang
dikenakannya.
Rayhan mempertimbangkan tawaran
Ine. Warna merah muda? Gak masalah sih. Tapi kan mba Ine juga belum sampe
rumah, pikir Rayhan.
“Mboten, mba. Matur suwun” Rayhan
menolak secara halus.
“Gak papa. Baju kang Rayhan itu
tipis banget loh. Yang ada kang Rayhan malah masuk angin nanti sampe rumah” Ine
mulai melepas jaket dari tubuhnya.
“Mboten, Mba. Saya ini kan lelaki.
Jadi ya insya Allah kuat.”
“Nggak, Kang. Mau lelaki atau
perempuan, ya bisa sakit juga.”
“Loh, kalau jaket mba Ine dikasih
ke saya, mba Ine yang nanti sakit. Janganlah” Rayhan menolak lagi.
“Nih, kang. Dipake jaketnya” Ine
memberikan jaket merah muda miliknya itu pada Rayhan.
“Mba. Mboten mekoten”
“Mboten punapa, Kang.” Jawab Ine
dengan Bahasa jawa “Rumah saya sudah dekat dari terminal ini,
kok. Tinggal naik
angkot lima menit lagi juga sampai. Rumah kang Rayhan kan masih jauh. Belum lagi
nganter Sarah” Ine berdalih. Meskipun sebenarnya, Ine juga tidak tahu persis
dimana rumah Rayhan. Tapi setidaknya, ia tahu kalau Rayhan akan mengantar
keponakannya terlebih dahulu ke rumah. Jadi ia rasa, rumahnya tidak akan jauh
dari rumah keponakannya.
“Mba Ine ini maksa, ya. Ya sudah.
Matur suwun, Mba.”
“Sewangsule, Kang” Ine tersenyum
pada Rayhan.
Dan kali ini, Rayhan merasa ada
yang berbeda. Perhatian yang diberikan perempuan itu, dan senyumnya yang sangat
meneduhkan hati. Sungguh membuat jantung Rayhan berdegup lebih kencang dari
biasanya.
“Cie… mang Rehan” Sarah yang ada
disamping Rayhan menyuraki. “Dapet senyumnya mba Ine”
“Eeh” Rayhan menyembunyikan rasa
malunya.
“Iih, Sarah” diikuti Ine yang
tersipu mendengar celotehan perempuan yang berumur 10 tahun dibawahnya itu.
“Mba Ine, itu mobil angkot yang
ditunggu mba Ine, kan?” tanya Sarah mengalihkan perhatian. Tapi kalau soal
angkot yang datang, memang benar adanya.
“Oh, iya” jawab Ine setelah melihat
angkot yang ditunggunya datang. “Saya duluan ya, Sarah, kang Rayhan”
“Iya, Mba. Mangga” Rayhan
mempersilakan dan menelungkupkan kedua tangannya seperti pertama berkenalan satu
jam yang lalu dengan Ine, Diikuti Ine yang juga melakukan hal yang sama.
“Iya, Mba” berbeda dengan Rayhan,
Sarah yang sama-sama perempuan bersalaman dengan mencium punggung tangan kanan
Ine.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawab Sarah dan
Rayhan bersamaan.
“Hati-hati, mba Ine” Sarah
terakhir bicara. Lalu dibalas dengan Ine yang mengacungkan ibu jari tangan
kanannya dan menaiki angkot yang telah mendekat.
0 Comments: