“Anak-anak,
untuk menunjang pembelajaran bahasa Inggris tahun ini, bapak akan menyediakan
fotokopi-an buku Bahasa inggris yang telah bapak buat sendiri dikarenakan tahun
ini sekolah tidak menyediakan LKS seperti tahun sebelumnya. Jadi besok
pelajaran bapak, masing-masing bawa uang sebelas ribu rupiah untuk fotokopinya
ya” ucap Pak Lukman, guru Bahasa Inggris kelas VII yang berbicara dari pintu
kelas. Setelah sebelumnya meminta izin pada Bu Lita yang saat itu sedang
mengajar kami untuk memberikan informasi.
“Iya, Pak”
para murid kelas VIIB menjawab serempak.
-----
Meisya
berdiri gelisah di depan warung fotokopi dekat gerbang sekolah lamanya.
Meyakinkan dirinya berkali-kali. Berucap bismillah untuk iktikad baiknya.
Harus sekarang. Kalau nggak, kapan
lagi?
Meisya
bertekad kali ini. Apapun yang terjadi, harus ia lakukan. Karena ia ingin semua
urusannya beres begitu dia lulus dari sekolah menengah atasnya.
“Mba Ica”
sapa Lulu menghampiri. Adik kelas Meisya yang berbeda 4 tahun dari usianya.
“Hei, Lu.
Ujiannya udah?” jawab Meisya basa-basi.
“Udah, mba.
Ini lagi nunggu Muna”
“Munanya
kemana?” Meisya menengok sekitar mereka.
“Tuh lagi
jajan batagor” telunjuk kanan Lulu menunjuk tukang batagor yang tak jauh dari
mereka.
“Oh..”
Meisya tersenyum sekilas.
“Mba Ica
sama siapa?” tanya Lulu lagi
“Hm..
sendiri”
“Mau bareng
gak?”
“Kamu duluan
aja deh. Aku ada urusan dulu” jawab Meisya yakin. Meski sebenarnya, tak masalah
juga jika ia pulang bersama Lulu dan Muna. Namun, ada satu hal yang harus diselesaikan.
“Oh… ya udah
atuh. Lulu sama Muna pulang duluan
ya, mba”
“Iya.
Ti-ati”
Lulu dan
Muna pergi dan hilang dari pandangan mata Meisya.
Sekarang, harus sekarang. Plis, Mei.
Plis. Lo harus kalahin grogi lo kali ini. Lo gak mau kan ilmu Bahasa Inggris lo
gak berkah cuma karena hutang yang gak seberapa ini? batin Meisya semakin meyakinkan.
Satu detik.
Dua detik. Tiga detik.
Meisya
berjalan menuju gerbang sekolah lamanya dengan yakin. Meski ada sedikit rasa
malu yang harus ia tanggung karena ia satu-satunya siswi yang memakai seragam
putih abu.
“Nyari
siapa, dek?” tanya seorang guru di pos satpam.
“Nyari Pak
Lukman, Pak. Ada gak ya?”
“Pak Lukman
yang mana ya? Ada Lukman Hakim, ada Lukmanul Hakim” Guru itu menekankan ucapan
‘Nul’-nya.
“E… Yang
dulunya ngajar Bahasa Inggris, Pak.”
“Oh… Yang
ngajar Bahasa Inggris. Itu Lukman Hakim namanya”
“Hehe”
Meisya tertawa kecil.
“Do, Lukman
mana?” Tanya guru itu pada guru lain yang lebih muda.
“Di koperasi,
Pak” jawab guru muda itu mengerti. Karena Pak Lukman yang dimaksud tentulah
yang lebih muda karena guru tadi hanya bertanya ‘Lukman’, bukan ‘Pak Lukman’.
“Koperasi” Guru
itu mengucapkan kembali pada Meisya.
“Oh iya Pak.
Terima kasih”
“Tanya aja
sama guru di koperasi”
“Iya, Pak”
Meisya
bergegas menuju koperasi yang tempatnya masih tak berubah seperti ketika ia
masih sekolah disana. Di samping mushola.
“Assalamu’alaikum”
Meisya mengucapkan salam dengan pelan dari pintu koperasi.
“Wa’alaikumussalam.
Nyari siapa, nak?” seorang guru perempuan yang telah Meisya kenal sebagai guru
IPS itu bertanya.
“Pak Lukman,
Bu. Ada?”
“Pak Lukman
ada yang cari” ucap guru perempuan itu dengan suara yang sedikit dikeraskan
dibalik komputernya.
“Siap” saut
Pak Lukman dari ruangan yang berbeda.
“Tunggu dulu
ya nak”
“Iya, Bu.
Terima kasih”
Tak lama
kemudian, Pak Lukman datang.
“Assalamu’alaikum,
Pak”
“Wa’alaikumussalam.
Ada perlu apa, nak?”
“Pak, saya
Meisya Farhana. Pernah diajar Bapak di kelas tujuh B tahun 2013. Pelajaran
Bahasa Inggris. Nah, waktu itu kan ada buku Bahasa Inggris dari Bapak yang
belum saya bayar. Jadi sekarang saya mau bayar bukunya, Pak”
Pak Lukman
berpikir sejenak.
“Oh… iya
iya. Bapak ingat. Buku Bahasa Inggris fotokopian itu, ya?”
“Iya, Pak”
“Ya udah,
ikut bapak ke kantor”
Pak Lukman
berjalan menuju kantor guru. Sedangkan Meisya mengikuti dibelakangnya.
-----
Meisya
keluar dari kantor guru dengan perasaan senang. Tak menyangka iktikad baiknya
disambut baik dan ramah oleh Pak Lukman. Meskipun sebenarnya, keinginan ini
telah ada sejak Meisya masih duduk di kelas 8. Namun sayang, Meisya baru bisa
menjalankannya ketika ia baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas-nya. Walau
begitu, bukan berarti selama ini Meisya melupakan hutangnya. Karena justru
Meisya masih terus mengingatnya sejak hari itu sampai sekarang. Bahkan, Meisya
pernah sengaja beberapa kali ke sekolahnya di hari bebas dengan keinginan untuk
membayar hutang tersebut. Tapi apa mau dikata, dia jarang bertemu dengan Pak
Lukman ketika ia benar-benar membawa ‘uang’. Hingga akhirnya pada hari ini,
Meisya berhasil melaksanakan keinginan untuk melunasi hutang itu yang telah
membayanginya selama 5 tahun terakhir.
0 Comments: