16 May 2020

Bahasa Inggris

Bahasa Inggris 
“Anak-anak, untuk menunjang pembelajaran bahasa Inggris tahun ini, bapak akan menyediakan fotokopi-an buku Bahasa inggris yang telah bapak buat sendiri dikarenakan tahun ini sekolah tidak menyediakan LKS seperti tahun sebelumnya. Jadi besok pelajaran bapak, masing-masing bawa uang sebelas ribu rupiah untuk fotokopinya ya” ucap Pak Lukman, guru Bahasa Inggris kelas VII yang berbicara dari pintu kelas. Setelah sebelumnya meminta izin pada Bu Lita yang saat itu sedang mengajar kami untuk memberikan informasi.
“Iya, Pak” para murid kelas VIIB menjawab serempak.
-----
Meisya berdiri gelisah di depan warung fotokopi dekat gerbang sekolah lamanya. Meyakinkan dirinya berkali-kali. Berucap bismillah untuk iktikad baiknya.
Harus sekarang. Kalau nggak, kapan lagi?
Meisya bertekad kali ini. Apapun yang terjadi, harus ia lakukan. Karena ia ingin semua urusannya beres begitu dia lulus dari sekolah menengah atasnya.
“Mba Ica” sapa Lulu menghampiri. Adik kelas Meisya yang berbeda 4 tahun dari usianya.
“Hei, Lu. Ujiannya udah?” jawab Meisya basa-basi.
“Udah, mba. Ini lagi nunggu Muna”
“Munanya kemana?” Meisya menengok sekitar mereka.
“Tuh lagi jajan batagor” telunjuk kanan Lulu menunjuk tukang batagor yang tak jauh dari mereka.
“Oh..” Meisya tersenyum sekilas.
“Mba Ica sama siapa?” tanya Lulu lagi
“Hm.. sendiri”
“Mau bareng gak?”
“Kamu duluan aja deh. Aku ada urusan dulu” jawab Meisya yakin. Meski sebenarnya, tak masalah juga jika ia pulang bersama Lulu dan Muna. Namun, ada satu hal yang harus diselesaikan.
“Oh… ya udah atuh. Lulu sama Muna pulang duluan ya, mba”
“Iya. Ti-ati”
Lulu dan Muna pergi dan hilang dari pandangan mata Meisya.
Sekarang, harus sekarang. Plis, Mei. Plis. Lo harus kalahin grogi lo kali ini. Lo gak mau kan ilmu Bahasa Inggris lo gak berkah cuma karena hutang yang gak seberapa ini? batin Meisya semakin meyakinkan.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Meisya berjalan menuju gerbang sekolah lamanya dengan yakin. Meski ada sedikit rasa malu yang harus ia tanggung karena ia satu-satunya siswi yang memakai seragam putih abu.
“Nyari siapa, dek?” tanya seorang guru di pos satpam.
“Nyari Pak Lukman, Pak. Ada gak ya?”
“Pak Lukman yang mana ya? Ada Lukman Hakim, ada Lukmanul Hakim” Guru itu menekankan ucapan ‘Nul’-nya.
“E… Yang dulunya ngajar Bahasa Inggris, Pak.”
“Oh… Yang ngajar Bahasa Inggris. Itu Lukman Hakim namanya”
“Hehe” Meisya tertawa kecil.
“Do, Lukman mana?” Tanya guru itu pada guru lain yang lebih muda.
“Di koperasi, Pak” jawab guru muda itu mengerti. Karena Pak Lukman yang dimaksud tentulah yang lebih muda karena guru tadi hanya bertanya ‘Lukman’, bukan ‘Pak Lukman’.
“Koperasi” Guru itu mengucapkan kembali pada Meisya.
“Oh iya Pak. Terima kasih”
“Tanya aja sama guru di koperasi”
“Iya, Pak”
Meisya bergegas menuju koperasi yang tempatnya masih tak berubah seperti ketika ia masih sekolah disana. Di samping mushola.
“Assalamu’alaikum” Meisya mengucapkan salam dengan pelan dari pintu koperasi.
“Wa’alaikumussalam. Nyari siapa, nak?” seorang guru perempuan yang telah Meisya kenal sebagai guru IPS itu bertanya.
“Pak Lukman, Bu. Ada?”
“Pak Lukman ada yang cari” ucap guru perempuan itu dengan suara yang sedikit dikeraskan dibalik komputernya.
“Siap” saut Pak Lukman dari ruangan yang berbeda.
“Tunggu dulu ya nak”
“Iya, Bu. Terima kasih”
Tak lama kemudian, Pak Lukman datang.
“Assalamu’alaikum, Pak”
“Wa’alaikumussalam. Ada perlu apa, nak?”
“Pak, saya Meisya Farhana. Pernah diajar Bapak di kelas tujuh B tahun 2013. Pelajaran Bahasa Inggris. Nah, waktu itu kan ada buku Bahasa Inggris dari Bapak yang belum saya bayar. Jadi sekarang saya mau bayar bukunya, Pak”
Pak Lukman berpikir sejenak.
“Oh… iya iya. Bapak ingat. Buku Bahasa Inggris fotokopian itu, ya?”
“Iya, Pak”
“Ya udah, ikut bapak ke kantor”
Pak Lukman berjalan menuju kantor guru. Sedangkan Meisya mengikuti dibelakangnya.
-----
Meisya keluar dari kantor guru dengan perasaan senang. Tak menyangka iktikad baiknya disambut baik dan ramah oleh Pak Lukman. Meskipun sebenarnya, keinginan ini telah ada sejak Meisya masih duduk di kelas 8. Namun sayang, Meisya baru bisa menjalankannya ketika ia baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas-nya. Walau begitu, bukan berarti selama ini Meisya melupakan hutangnya. Karena justru Meisya masih terus mengingatnya sejak hari itu sampai sekarang. Bahkan, Meisya pernah sengaja beberapa kali ke sekolahnya di hari bebas dengan keinginan untuk membayar hutang tersebut. Tapi apa mau dikata, dia jarang bertemu dengan Pak Lukman ketika ia benar-benar membawa ‘uang’. Hingga akhirnya pada hari ini, Meisya berhasil melaksanakan keinginan untuk melunasi hutang itu yang telah membayanginya selama 5 tahun terakhir.  

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: