Rayhan
menatap kertas undangan berwarna coklat muda yang dipegangnya. Sungguh, ini
adalah pertama kalinya ia mengalami hal ini. Ditinggal nikah oleh seseorang
yang dicintainya. Kenapa pula ia ditakdirkan untuk bertemu Ine? Hingga jatuh
cinta padanya? Namun, takdir adalah takdir. Tak bisa ia sanggah jika memang
sudah terlewati. Ia sudah dipertemukan dengan Ine yang telah membuatnya jatuh
hati, dan dibuat patah hati karena perasaannya sendiri. Ya. Ia tak bisa begitu
saja menyalahi Ine. Lagi pula itu haknya. Untuk dipilih dan menerima. Dan
Rayhan, harus menerima keputusan itu.
Tiga minggu
telah berlalu sejak kabar Ine akan menikah terdengar di telinga Rayhan. Tapi
kenapa perasaan itu belum hilang? Kenapa ia masih merasa kepedihan yang begitu
dalam? Bukankah ia telah mengikhlaskan Ine untuk orang lain?
“Han, dicari
lagi tuh sama santri putri di depan” panggil Ade.
“Siapa
sekarang?” Rayhan bertanya dengan kata ‘sekarang’, karena ini memang sudah
ketujuh kalinya beberapa santri putri bolak-balik mencarinya hanya untuk
meminta mengantarkan mereka ke pernikahan Ine.
“Pipit sama
Sarah”
Rayhan
terdiam dalam kebisuan. Kedua matanya masih memandangi kertas undangan coklat
muda milik pasangan Ine Rahmawati dan Robi Afrizal Rizki.
“Ayolah,
Han. Sampeyan tuh jangan galau terus. Bangkitlah, masih banyak cewe lain”
“Tapi gak
tau kenapa saya bener-bener tresno sama Ine, De”
“Iya, saya
ngerti. Saya juga pernah sakit hati kaya sampeyan, Han. Emang susah
ngelupainnya. Tapi kan butuh waktu. Gak bisa kalau cuma sehari aja terus
tiba-tiba sampeyan ngelupain orang yang sampeyan tresnoi. Mboten saged, Han”
Riko berusaha membujuk Rayhan dengan halus agar segera mengikhlaskan Ine.
“Gimana ya,
De?” kali ini Rayhan melepaskan pandangan dari kertas undangan itu.
“Bismillah..
sampeyan anterin aja dulu tuh santri putri. Kasian loh udah bolak-bolak terus
kesini cuma buat nyariin sampeyan”
“Gak ada
orang lain apa yang bisa nganterin?”
“Yang bisa
nganterin sih banyak. Tapi cuma sampeyan yang tau tempatnya”
“Astaghfirullah…”
27 Maret 2019
From : pengurus putri
Kang, berangkat ke undangan jam 2 ya.
jangan sampai lupa
Rayhan
membaca pesan itu dengan ragu. Jam 2 siang. Ia harus menuju tempat dimana ia
akan bertemu dengan orang yang masih disukainya, namun bersanding dengan lelaki
lain di pelaminan.
15.15 WIB
Semua santri
putri yang ikut serta pergi ke undangan bersorak sorai karena telah sampai ke
tempat yang dituju. Ingin segera menemui salah seorang temannya yang tengah
bersanding di pelaminan, dan mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Mang, masuk
yu” ajak Sarah yang juga ikut ke undangan pada Rayhan.
“Nanti, Sar.
Duluan aja”
“Beneran?”
“Iya. Sarah
duluan aja sana. Nanti ketinggalan yang lain tuh”
“O iya”
Sarah menyadari kalau para seniornya telah berjalan ke area undangan “Ya udah
deh, Sarah duluan ya mang. Yuk Mel” Sarah mengajak Mela yang menemaninya untuk
mengajak Rayhan terlebih dahulu sebelumnya.
“Ayo” jawab
Mela. “Duluan, Kang”
“Iya” jawab
Rayhan.
Rayhan
terdiam diatas jok sepeda motornya. Bingung ingin hendak kemana dan harus berbuat
apa pada saat itu. Apa saya pulang aja?
Tapi mang supir hafal jalan pulang gak ya? Aduh… saya belum sanggup ngeliat Ine
Ya Allah, Rayhan berbicara dalam hati.
“Kang, gak
ke dalam?”
“Eh,
astaghfirullah. Saya lupa, mang” Rayhan terkagetkan dengan teguran dari mang
supir yang membawa mobil rombongan santri putri.
“Lupa?” mang
supir itu terheran-heran.
“E… ngga
kok, Mang. Saya kedalam dulu, ya” Rayhan terburu-buru turun dari sepeda
motornya. Kemudian berjalan menuju area undangan.
“Ine” Rayhan
berbisik pada dirinya sendiri begitu melihat Ine yang bersanding di pelaminan
dengan seorang lelaki yang diduga bernama Robi. Sedang bersalam-salaman dengan
para tamu undangan dan menyapa mereka dengan ramah. Namun tak diduga, kedua
mata Ine mengarah ke tempat Rayhan berada. Membuatnya sedikit kaget dan ingin
segera menyapa Rayhan.
“Rayhan”
Rayhan
segera mengalihkan pandangannya. Berpura-pura untuk melakukan sesuatu, meski ia
sendiri tidak tau apa yang harus ia lakukan karena terlalu gugup dengan tatapan
Ine.
“De, ada
apa?” Tanya Robi, seorang lelaki yang kini telah menjadi pendamping hidup Ine.
“E.. enggak
kok, Mas” jawab Ine pada suaminya.
“Loh, kamu
Rayhan bukan? Teman Ine yang ke rumah buat ngembaliin jaket itu?” lontaran
pertanyaan dari Pak Fadil –Abah (ayah) Ine- itu mengagetkan Rayhan dari samping.
Pak Fadil mengenalinya. Karena memang kunjungan Rayhan ke rumah Ine tempo lalu itu
cukup lama. Sehingga Pak Fadil semakin mudah mengenali wajah dan gerak gerik
tubuh Rayhan.
“Oh, iya Abah”
jawab Rayhan sedikit gugup. Kemudian membungkukkan badan untuk menyalami Pak
Fadil “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam..
Gimana kabarmu, Nak Rayhan?” Pak Fadil menepuk-nepuk punggung Rayhan.
“Alhamdulillah
baik, Abah. Abah sendiri gimana kabarnya?” Rayhan bertanya dibalik kesedihan
yang disembunyikannya.
“Baik
juga..”
“Alhamdulillah
kalau begitu”
“Kamu kesini
sama siapa, Nak Rayhan?”
“Sama santri
putri, Abah. Perwakilan dari teman-temannya Ine” ucap Rayhan sembari menunjuk
para santri putri yang sedang makan setelah menyalami Ine.
“O… iya iya”
Pria yang dipanggil ‘Abah’ itu mengangguk-angguk. “Hm… sekarang, kamu sudah
punya calon?”
Pertanyaan
Pak Fadil itu membuat Rayhan gugup setengah mati.
“Belum,
Abah. Belum ada yang nyangkol” jawab Rayhan dengan sedikit gurauan. Meski dalam
hatinya, ia menginginkan putri dari Pak Fadil bernama Ine Rahmawati-lah yang
menjadi pendampingnya. Namun ia tersadar itu hal mustahil baginya karena Ine
telah menjadi istri dari lelaki lain.
“Oh… tidak
apa-apa ya, nak Rayhan. Kamu ini anaknya baik kok, sopan juga. Jadi insya allah
jodoh kamu akan baik-baik juga kelak. Dan pasti akan datang pada waktu yang
tepat.”
0 Comments: