02 August 2020

Ambil Rapot

Ambil Rapot
KRING!!! KRING!!! KRING!!!
Smartphone milik Nadya bordering sekaligus bersuara cukup lama. Bertanda ada panggilan WhatsApp masuk. Namun, panggilan tersebut berasal dari kontak tak bernama.
“Assalamu’alaikum” salam Nadya terlebih dulu setelah menghindar dari keramaian.
“Wa’alaikumussalam. Nadya, ini rapotnya udah ada. Mau diambil sekarang?” orang yang diseberang bertanya. Dia adalah Malik. Guru Nadya yang telah meminta nomor WhatsApp Nadya terlebih dulu untuk menginfokan kesiapan rapot untuk diambil sebelumnya.
“Oh iya, Pak. Saya ambil sekarang” Nadya menjawab dengan sedikit ragu setelah mengetahui rapotnya sudah siap diambil. Bahkan sebelum Nadya sempat untuk duduk barang 10 menit sekalipun. Padahal, ia baru saja datang dari sekolah untuk meminta rapot semester enamnya. Namun tidak jadi ia ambil karena ternyata rapot semester enam tersebut belum diprint menurut Malik, selaku pengurus rapot para siswa.
“Ditunggu secepatnya, ya”
“Iya, Pak”
Sambungan panggilan WhatsApp terputus. Dan Nadya segera bergegas menuju sekolahnya. Namun di tengah jalan, Nadya menghentikan langkahnya.
Eh, sekarang atau sore ya? Kalau sekarang pegal, sih. Tapi biar sekalian capeknya. Apa sore aja kali, ya? Pak Malik bilang kan Pak Malik di sekolah sampai sore. Ya udahlah, sore aja.
 ---
Sore hari.
Sejak jam dua siang, asrama putra dan putri mengadakan pertemuan alumni dadakan. Karena seharusnya, pertemuan alumni ini sudah berlangsung sejak pagi tadi. Namun karena ada kepentingan mendadak pihak dari asrama yang tidak bisa ditunda, akhirnya acara pertemuan alumni ini mengalah dan baru dilaksanakan di siang hari hingga sore ini. Yang kemudian membuat Nadya harus kembali menunda untuk pergi ke sekolah dengan tujuan mengambil rapot semester enamnya. Ditambah lagi, cuaca sore ini yang tidak mendukung alias hujan.
 ---
Nadya bergegas bangun dengan bersemangat. Pergi ke kemar mandi untuk menyegarkan bada, kemudian melaksanakan sholat shubuh. Setelah itu, ia membereskan baju kotornya yang telah ia pakai sebelumnya. Bersiap-siap untuk pergi mengambil rapot ke sekolah dan segera pulang ke kota asalnya. Namun tunggu. Kenapa anak-anak asrama tidak ada yang bersiap-siap pergi ke sekolah?
“Mia, sekarang kamu sekolah gak?” tanya Nadya seraya menengadahkan kepalanya ke arah Mia yang sedang fokus menggambar di kasur atas.
“Ngga, mba”
“Loh, emangnya sekarang hari apa?”
“Minggu”
“Tapi, bukannya kalau lagi ujian hari MInggu masuk juga, ya?” Nadya bertanya makin heran.
“Ngga tuh. Buktinya sekarang nggak”
“Astaghfirullah” Pandangan mata Nadya kembali ke tas yang sedang diberesinya.
“Kenapa, mba Nad?” tanya Mia setelah menyisihkan kertas HVS dan pensilnya. Penasaran dengan apa yang dialami Nadya.
“Berarti aku gak bisa ambil rapot ke sekolah hari ini, dong?”
“Iya, mungkin”
“Iih, kesel banget deh. Masa aku harus balik lagi ke sekolah nanti buat ngambil rapot gara-gara sekarang gak jadi?” Nadya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun, Mia ternyata menyimak perkataan Nadya.
“Ngambil rapot gak jadi?”
“Iya. Jadi rencananya tuh aku pengen pulang hari ini. Tapi sekolahnya tutup. Padahal aku mau ngambil rapot” Nadya berkata dengan sedikit menyesal.
“Oh.. gitu”
“Iya”
“Kenapa gak nunggu besok?”
“Aslinya aku tuh pengen pulang kemarin, Mi. Masa sekarang mau ditunda lagi?”
Nadya benar-benar berpikir keras. Bingung dengan pilihan yang harus ia putuskan. Sekaligus menyesal karena telah menunda pergi ke sekolah sebelumnya.
Aargh!!! Kesel kesel kesel! Kenapa coba kemarin malah gak jadi ke sekolah? Mana sorenya hujan lagi. Sekarang, tahu-tahu sekolahnya libur. Kesel banget deh! Terus aku gak jadi pulang hari ini gitu? Apa aku minta tolong Ina aja ya buat ngambilin rapot? Hm… iya deh. Mungkin aku harus ngerepotin Ina lagi kali ini.
 ---
TOK! TOK! TOK!
Nadya mengetuk salah satu pintu kamar asrama.
“Masuk” suara seseorang dari dalam kamar mempersilakan.
“Assalamu’alaikum” Nadya mengucapkan salam setelah diizinkan untuk membuka pintu sebelumnya.
“Wa’alaikumussalam” jawab beberapa orang penghuni kamar.
“Ina ada?”
“Apa, mba Nad?” Ina yang sedang rebahan di atas kasur langsung menyahut begitu namanya disebut oleh kakak kelas sekaligus sepupunya itu.
“Na…” tanpa dipersilakan, Nadya langsung berjalan menuju kasur yang ditempati Ina.
“Kenapa?”
“Mau minta tolong, boleh?”
“Minta tolong apa, mba?”
“Ambil rapot”
“Ambil rapot? Ke mana?” tanya Ina bingung kemudian menggeser posisi rebahannnya untuk berbagi kasur dengan Nadya setelah Nadya memberi isyarat untuk ikut rebahan.
“Ke sekolahlah” jawab Nadya enteng. begitu menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang ditempati Ina juga. Kemudian menceritakan apa yang dialaminya saat ini pada Ina.
 ---
Nadya bangun dengan bersemangat. Bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan badan, melaksanakan sholat shubuh, dan mengemasi pakaian kotor dan barang-barang lainnya ke dalam tas. Kemudian berpamitan ke penghuni kamar yang ia tempati, juga Ina yang tinggal di kamar sebelah.
“Na, aku gak jadi nitip rapot ke kamu ya”
“Kenapa, mba?”
“Aku aja yang ngambil rapot sekarang”
“Sekalian pulang?”
“Iya”
“Ya udah deh. Hati-hati ya, mba”
“Salaman dulu, gak?” Nadya mengulurkan tangan kanannya dengan sedikit bercanda.
“Oh, iya” Ina menyambut uluran tangan Nadya dan mencium punggung tangannya. “Hati-hati”
“Makasih”
 ---
“Assalamu’alaikum, Pak” Nadya mengucapkan salam seraya bersalaman mencium punggung tangan seorang guru lelaki yang tidak ia kenali.
“Wa’alaikumussalam. Cari siapa?”
“Pak Malik, Pak. Mau ambil rapot”
“Malik…” Pandangan guru tersebut mengelilingi ruang guru tempat beliau berada. “Kemungkinan ada di koperasi. Jam segini biasanya disana. Susul aja kalau mau.”
“Baik, Pak. Terima kasih”
Tak lama, Nadya telah berada di dalam koperasi. Menemui Malik yang sedang berkutat dengan data keuangan koperasi dalam komputer.
“Rapotnya udah diprint. Ambil aja di atas meja saya”
Atas instruksi dan perintah yang padat dan singkat dari Malik, Nadya kembali ke ruang guru.
“Udah ketemu Pak Maliknya?” Guru yang Nadya temui sebelumnya bertanya.
“Udah, Pak. Kata Pak Maliknya ada di atas meja Pak Malik”
“Tau meja Pak Malik yang mana?”
“Nggak, Pak” Nadya menjawab dengan sedikit cengiran.
“Ini, nih. Belakang meja saya, nih. Mejanya Pak Malik” Guru tersebut menunjukkan meja guru dibelakangnya yang memiliki stiker bernama Malik disalah satu sisinya.
“Oh iya, Pak. Terima kasih”
“Ambil rapotnya” titah guru tersebut yang ternyata bernama Muhammad Ihsan setelah Nadya melihat stiker nama di salah satu sisi mejanya.
Dengan sigap, Nadya mengambil rapot semester enamnya yang tanpa sampul itu.
“Cek dulu. Ada yang kurang gak dari rapotnya?”
“Oh iya, Pak” Nadya mengiyakan. Kemudian mengecek lembaran-lembaran rapot miliknya. Adakah yang kurang?
“Tanda tangan wali kelas, Pak” jari telunjuk kanan Nadya menunjuk garis datar yang perlu diisi tanda tangan wali kelas.
“Wali kelasnya siapa?”
“Pak Bagus”
“Man, Pak Bagus masih ada?” guru tersebut bertanya pada guru lain yang berada di seberang mejanya.
“Udah pulang, Pak. Paling kesini lagi jam sembilan” jawab guru lain yang ditanya tersebut.
“Pak Bagusnya gak ada. Mau nunggu?” tawar guru yang sedari tadi mengobrol dengan Nadya.
“Emang mau apa?” Kali ini, guru seberang yang bertanya.
“Ini. Tanda tangan wali kelas buat di rapot katanya” Ihsan menjawab guru tersebut mewakili Nadya.
“Pak Bagusnya gak ada. Baru pulang barusan. Kalau mau, tunggu sampai jam sembilan biar langsung dapat tanda tangan”
Jam sembilan? Sekarang aja baru jam tujuh, Pak. Itu artinya saya harus stay disini dua jam lagi, batin Nadya.
“Tapi, saya lagi buru-buru, Pak” Sebenarnya tidak buru-buru. Tapi ingin cepat pulang.
“Ya udah kamu tanya lagi sama Pak Malik. Pak ini tanda tangan wali kelasnya gimana gitu. Saya lagi buru-buru” guru seberang tersebut berkata dengan intonasi yang cukup dinaikkan. Membuat Nadya merasa sedang dimarahi.
“I, iya, Pak”
Nadya telah berada di depan koperasi. Dan kebetulan, Malik juga baru saja keluar dari koperasi.
“Pak, ini tanda tangan wali kelasnya gimana ya?” Nadya bertanya dengan menunjuk garis panjang khusus untuk tanda tangan wali kelas.
“O ya. Pak Bagus. Cari aja Pak Bagusnya di ruang guru atau ruang BP”
Baiklah. Tapi Nadya sudah tahu dari guru lain bahwa Pak Bagus telah pulang dan tidak ada di sekolah. Jadi untuk apa? Padahal, Nadya pikir ada solusi lain lagi. Tapi nyatanya, tidak ada.
 ---
Nadya pasrah. Ia benar-benar mengambil rapotnya saja, sesuai tujuan dari rumah. Tanpa tanda tangan wali kelas. Hm… Tapi tak apa. Setidaknya, ia tidak perlu menambah orang lain sebagai orang yang direpotkannya. Cukup Nadya dan guru-guru yang terlibat saja.
Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: