KRING!!! KRING!!! KRING!!!
Smartphone
milik Nadya bordering sekaligus bersuara cukup lama. Bertanda ada panggilan
WhatsApp masuk. Namun, panggilan tersebut berasal dari kontak tak bernama.
“Assalamu’alaikum”
salam Nadya terlebih dulu setelah menghindar dari keramaian.
“Wa’alaikumussalam.
Nadya, ini rapotnya udah ada. Mau diambil sekarang?” orang yang diseberang
bertanya. Dia adalah Malik. Guru Nadya yang telah meminta nomor WhatsApp Nadya
terlebih dulu untuk menginfokan kesiapan rapot untuk diambil sebelumnya.
“Oh iya,
Pak. Saya ambil sekarang” Nadya menjawab dengan sedikit ragu setelah mengetahui
rapotnya sudah siap diambil. Bahkan sebelum Nadya sempat untuk duduk barang 10
menit sekalipun. Padahal, ia baru saja datang dari sekolah untuk meminta rapot
semester enamnya. Namun tidak jadi ia ambil karena ternyata rapot semester enam
tersebut belum diprint menurut Malik, selaku pengurus rapot para siswa.
“Ditunggu
secepatnya, ya”
“Iya, Pak”
Sambungan
panggilan WhatsApp terputus. Dan Nadya segera bergegas menuju sekolahnya. Namun
di tengah jalan, Nadya menghentikan langkahnya.
Eh, sekarang atau sore ya? Kalau
sekarang pegal, sih. Tapi biar sekalian capeknya. Apa sore aja kali, ya? Pak
Malik bilang kan Pak Malik di sekolah sampai sore. Ya udahlah, sore aja.
Sore hari.
Sejak jam
dua siang, asrama putra dan putri mengadakan pertemuan alumni dadakan. Karena
seharusnya, pertemuan alumni ini sudah berlangsung sejak pagi tadi. Namun
karena ada kepentingan mendadak pihak dari asrama yang tidak bisa ditunda,
akhirnya acara pertemuan alumni ini mengalah dan baru dilaksanakan di siang
hari hingga sore ini. Yang kemudian membuat Nadya harus kembali menunda untuk
pergi ke sekolah dengan tujuan mengambil rapot semester enamnya. Ditambah lagi,
cuaca sore ini yang tidak mendukung alias hujan.
Nadya
bergegas bangun dengan bersemangat. Pergi ke kemar mandi untuk menyegarkan
bada, kemudian melaksanakan sholat shubuh. Setelah itu, ia membereskan baju
kotornya yang telah ia pakai sebelumnya. Bersiap-siap untuk pergi mengambil rapot
ke sekolah dan segera pulang ke kota asalnya. Namun tunggu. Kenapa anak-anak asrama tidak ada yang
bersiap-siap pergi ke sekolah?
“Mia,
sekarang kamu sekolah gak?” tanya Nadya seraya menengadahkan kepalanya ke arah
Mia yang sedang fokus menggambar di kasur atas.
“Ngga, mba”
“Loh,
emangnya sekarang hari apa?”
“Minggu”
“Tapi,
bukannya kalau lagi ujian hari MInggu masuk juga, ya?” Nadya bertanya makin
heran.
“Ngga tuh.
Buktinya sekarang nggak”
“Astaghfirullah”
Pandangan mata Nadya kembali ke tas yang sedang diberesinya.
“Kenapa, mba
Nad?” tanya Mia setelah menyisihkan kertas HVS dan pensilnya. Penasaran dengan
apa yang dialami Nadya.
“Berarti aku
gak bisa ambil rapot ke sekolah hari ini, dong?”
“Iya,
mungkin”
“Iih, kesel
banget deh. Masa aku harus balik lagi ke sekolah nanti buat ngambil rapot
gara-gara sekarang gak jadi?” Nadya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun,
Mia ternyata menyimak perkataan Nadya.
“Ngambil
rapot gak jadi?”
“Iya. Jadi
rencananya tuh aku pengen pulang hari ini. Tapi sekolahnya tutup. Padahal aku
mau ngambil rapot” Nadya berkata dengan sedikit menyesal.
“Oh.. gitu”
“Iya”
“Kenapa gak
nunggu besok?”
“Aslinya aku
tuh pengen pulang kemarin, Mi. Masa sekarang mau ditunda lagi?”
Nadya
benar-benar berpikir keras. Bingung dengan pilihan yang harus ia putuskan.
Sekaligus menyesal karena telah menunda pergi ke sekolah sebelumnya.
Aargh!!! Kesel kesel kesel! Kenapa
coba kemarin malah gak jadi ke sekolah? Mana sorenya hujan lagi. Sekarang,
tahu-tahu sekolahnya libur. Kesel banget deh! Terus aku gak jadi pulang hari
ini gitu? Apa aku minta tolong Ina aja ya buat ngambilin rapot? Hm… iya deh.
Mungkin aku harus ngerepotin Ina lagi kali ini.
TOK! TOK! TOK!
Nadya
mengetuk salah satu pintu kamar asrama.
“Masuk”
suara seseorang dari dalam kamar mempersilakan.
“Assalamu’alaikum”
Nadya mengucapkan salam setelah diizinkan untuk membuka pintu sebelumnya.
“Wa’alaikumussalam”
jawab beberapa orang penghuni kamar.
“Ina ada?”
“Apa, mba
Nad?” Ina yang sedang rebahan di atas kasur langsung menyahut begitu namanya
disebut oleh kakak kelas sekaligus sepupunya itu.
“Na…” tanpa
dipersilakan, Nadya langsung berjalan menuju kasur yang ditempati Ina.
“Kenapa?”
“Mau minta
tolong, boleh?”
“Minta
tolong apa, mba?”
“Ambil
rapot”
“Ambil rapot?
Ke mana?” tanya Ina bingung kemudian menggeser posisi rebahannnya untuk berbagi
kasur dengan Nadya setelah Nadya memberi isyarat untuk ikut rebahan.
“Ke
sekolahlah” jawab Nadya enteng. begitu menghempaskan tubuhnya di atas kasur
yang ditempati Ina juga. Kemudian menceritakan apa yang dialaminya saat ini
pada Ina.
Nadya bangun
dengan bersemangat. Bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan badan,
melaksanakan sholat shubuh, dan mengemasi pakaian kotor dan barang-barang
lainnya ke dalam tas. Kemudian berpamitan ke penghuni kamar yang ia tempati,
juga Ina yang tinggal di kamar sebelah.
“Na, aku gak
jadi nitip rapot ke kamu ya”
“Kenapa,
mba?”
“Aku aja
yang ngambil rapot sekarang”
“Sekalian
pulang?”
“Iya”
“Ya udah
deh. Hati-hati ya, mba”
“Salaman
dulu, gak?” Nadya mengulurkan tangan kanannya dengan sedikit bercanda.
“Oh, iya”
Ina menyambut uluran tangan Nadya dan mencium punggung tangannya. “Hati-hati”
“Makasih”
“Assalamu’alaikum,
Pak” Nadya mengucapkan salam seraya bersalaman mencium punggung tangan seorang
guru lelaki yang tidak ia kenali.
“Wa’alaikumussalam.
Cari siapa?”
“Pak Malik,
Pak. Mau ambil rapot”
“Malik…”
Pandangan guru tersebut mengelilingi ruang guru tempat beliau berada.
“Kemungkinan ada di koperasi. Jam segini biasanya disana. Susul aja kalau mau.”
“Baik, Pak.
Terima kasih”
Tak lama,
Nadya telah berada di dalam koperasi. Menemui Malik yang sedang berkutat dengan
data keuangan koperasi dalam komputer.
“Rapotnya
udah diprint. Ambil aja di atas meja saya”
Atas instruksi
dan perintah yang padat dan singkat dari Malik, Nadya kembali ke ruang guru.
“Udah ketemu
Pak Maliknya?” Guru yang Nadya temui sebelumnya bertanya.
“Udah, Pak.
Kata Pak Maliknya ada di atas meja Pak Malik”
“Tau meja
Pak Malik yang mana?”
“Nggak, Pak”
Nadya menjawab dengan sedikit cengiran.
“Ini, nih.
Belakang meja saya, nih. Mejanya Pak Malik” Guru tersebut menunjukkan meja guru
dibelakangnya yang memiliki stiker bernama Malik disalah satu sisinya.
“Oh iya,
Pak. Terima kasih”
“Ambil
rapotnya” titah guru tersebut yang ternyata bernama Muhammad Ihsan setelah
Nadya melihat stiker nama di salah satu sisi mejanya.
Dengan
sigap, Nadya mengambil rapot semester enamnya yang tanpa sampul itu.
“Cek dulu.
Ada yang kurang gak dari rapotnya?”
“Oh iya,
Pak” Nadya mengiyakan. Kemudian mengecek lembaran-lembaran rapot miliknya.
Adakah yang kurang?
“Tanda
tangan wali kelas, Pak” jari telunjuk kanan Nadya menunjuk garis datar yang
perlu diisi tanda tangan wali kelas.
“Wali
kelasnya siapa?”
“Pak Bagus”
“Man, Pak
Bagus masih ada?” guru tersebut bertanya pada guru lain yang berada di seberang
mejanya.
“Udah
pulang, Pak. Paling kesini lagi jam sembilan” jawab guru lain yang ditanya
tersebut.
“Pak
Bagusnya gak ada. Mau nunggu?” tawar guru yang sedari tadi mengobrol dengan
Nadya.
“Emang mau
apa?” Kali ini, guru seberang yang bertanya.
“Ini. Tanda
tangan wali kelas buat di rapot katanya” Ihsan menjawab guru tersebut mewakili
Nadya.
“Pak
Bagusnya gak ada. Baru pulang barusan. Kalau mau, tunggu sampai jam sembilan
biar langsung dapat tanda tangan”
Jam sembilan? Sekarang aja baru jam
tujuh, Pak. Itu artinya saya harus stay disini dua jam lagi, batin Nadya.
“Tapi, saya
lagi buru-buru, Pak” Sebenarnya tidak
buru-buru. Tapi ingin cepat pulang.
“Ya udah
kamu tanya lagi sama Pak Malik. Pak ini tanda tangan wali kelasnya gimana gitu.
Saya lagi buru-buru” guru seberang tersebut berkata dengan intonasi yang cukup
dinaikkan. Membuat Nadya merasa sedang dimarahi.
“I, iya,
Pak”
Nadya telah
berada di depan koperasi. Dan kebetulan, Malik juga baru saja keluar dari
koperasi.
“Pak, ini
tanda tangan wali kelasnya gimana ya?” Nadya bertanya dengan menunjuk garis
panjang khusus untuk tanda tangan wali kelas.
“O ya. Pak
Bagus. Cari aja Pak Bagusnya di ruang guru atau ruang BP”
Baiklah.
Tapi Nadya sudah tahu dari guru lain bahwa Pak Bagus telah pulang dan tidak ada
di sekolah. Jadi untuk apa? Padahal, Nadya pikir ada solusi lain lagi. Tapi
nyatanya, tidak ada.
Nadya
pasrah. Ia benar-benar mengambil rapotnya saja, sesuai tujuan dari rumah. Tanpa
tanda tangan wali kelas. Hm… Tapi tak apa. Setidaknya, ia tidak perlu menambah
orang lain sebagai orang yang direpotkannya. Cukup Nadya dan guru-guru yang
terlibat saja.
0 Comments: