Sore itu, aku sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Membawa tas ransel diatas punggungku yang berisi beberapa pakaian beserta alat-alat kecil lainnya. Karena pada hari itu, pesantren yang aku tempati baru saja mengizinkan para santri untuk pulang ke rumah masing-masing dalam rangka liburan semester satu.
Loh, kok orang itu mirip Yayan ya?
Atau, dia emang benar Yayan? sangkaku dalam hati ketika melewati tukang bakso gerobak yang
diramaikan oleh beberapa lelaki. Namun, aku tidak menyapa langsung orang itu.
Ada sedikit rasa ragu sekaligus malu. Terlebih, lelaki yang aku kira Yayan itu
sedang bersama beberapa temannya.
“Dian!”
Suara itu
memanggil namaku. Benar, kan. Dia Yayan.
Dia panggil aku?
Tanpa ragu,
aku langsung membalikkan badanku.
“Apa kabar?”
tanya Yayan sedikit berteriak.
“Baik”
jawabku dari jarak yang cukup jauh darinya. Saat itu, aku juga baru menyadari
ada Iwan, Riko juga Gilang turut bersama Yayan sedang makan bakso.
“Mau kemana?”
“Mau pulang”
“…..” Yayan
bertanya padaku. Tapi aku tak tahu apa yang ditanyakannya.
“Apa?” aku
maju beberapa langkah agar aku bisa mendengar pertanyaan Yayan dengan jelas.
“Eh gak usah
gak usah. Kamu mau pulang kan?” Yayan memintaku untuk tidak melanjutkan
langkah.
“Iya”
“Pulang aja.
Gapapa kok”
“Ya udah,
aku pulang duluan ya?” aku melambaikan tanganku pada mereka.
“Iya.
Hati-hati, Dian”
Mereka
membalas lambaian tanganku. Dan aku pun kembali membalikkan badan. Lalu
tersenyum sendiri setelah memasuki gang menuju rumahku. Ah, senangnya disapa teman lelakiku lagi. Apalagi setelah lulus SD tiga
tahun yang lalu, aku gak pernah punya teman lelaki lagi.
Sudah begitu
sering aku melewati tukang bakso gerobak itu. Bagaimana tidak. Tukang bakso gerobak
itu selalu mangkal di depan gang rumahku. Tapi anehnya, aku tak lagi pernah
menemui Yayan, Iwan, Riko juga Gilang sejak tiga tahun terakhir setelah
pertemuan itu. Padahal, seringkali juga aku berharap bisa menemui mereka lagi.
0 Comments: