“De, sekarang mah harus hati-hati kalau keluar rumah. Harus pake masker. Sekarang lagi ada virus di luar negeri. Virusnya teh gampang nular. Udah banyak yang kena.”
“Kenapa gitu
harus pake masker?”
“Biar
virusnya gak nular (ke kita). Makanya harus pake masker. Walaupun masih di luar
negeri juga kan, tetap harus hati-hati.”
“Virus apa?”
“Virus
corona. Nanti aku sebarin infonya di grup, ya.”
Aku masih
ingat saat itu. Pertengahan Februari 2020. Pertama kalinya, aku mendengar
tentang virus corona dari tetehku. Teteh tak hanya memberitahuku. Tapi juga
adikku yang masih tinggal di rumah. Belum berangkat ke pesantren. Kami sedang
menonton TV. Dan teteh memberitahu kami tentang virus corona di sela-sela iklan
acara TV. Ya, walaupun tidak benar-benar persis seperti yang tetehku katakan.
Tapi kurang lebih seperti itu.
Akhir
Februari, aku menjadi lebih sering mendengar kabar tentang virus corona. Baik
itu dari televisi maupun dari media sosial. Banner-banner tentang virus corona
disebarluaskan. Berisi gejala-gejala dari virus corona dan bagaimana cara
pencegahannya agar tidak sampai tertular. Diantaranya memakai masker, mencuci
tangan dan menjaga jarak. Atau yang lebih singkat, biasa kita sebut sebagai protokol
kesehatan. Namun, banner hanyalah banner. Selama virus itu belum tersebar ke
Indonesia, apa yang perlu dikhawatirkan? Mungkin itu yang ada di benak sebagian
orang. Termasuk aku. Karena aku juga termasuk orang yang belum terlalu peduli
saat itu. Keluar rumah, ya keluar rumah seperti biasanya. Tanpa memakai masker
apalagi membawa-bawa handsanitizer.
Awal Maret 2020.
Sebuah berita tak terduga menggemparkan seluruh masyarakat Indonesia.
Tepatnya pada tanggal dua, diinformasikan bahwa ada dua warga Indonesia yang
terinfeksi virus corona. Mereka adalah ibu dan anak. Keduanya adalah seorang
penari. Sebelumnya, sang anak baru saja berdansa bersama seorang warga Jepang.
Yang dikemudian hari, diinformasikan bahwa warga Jepang tersebut terinfeksi
virus corona. Lalu sang anak tertular virus corona dari warga Jepang tersebut
dan tanpa sadar menularkannya pada sang ibu. Kemudian keduanya menjadi kasus pasien
corona pertama dan kedua di Indonesia.
Hari Rabu, tanggal 11 Maret 2020.
Aku hendak
pergi ke pesantren untuk menghadiri sebuah acara tahunan. Namun ketika baru
saja ingin berangkat, aku sempat melihat berita yang lagi-lagi mengenai virus
corona. Pasien corona sudah mencapai angka 27. Dan ketika itu, aku mendadak
was-was. Jadi untuk mengantisipasi, aku mengambil beberapa lembar masker sekali
pakai yang pernah aku pinta pada tetehku jauh-jauh hari sebelumnya. Aku
memakainya ketika dalam perjalanan. Meski sesekali membukanya ketika hendak
minum atau sekedar makan permen. Jujur, sebenarnya itu cukup pengap. Berhubung
itu adalah pertama kalinya aku memakai masker untuk sebuah perjalanan yang
cukup jauh. Ditambah lagi, aku memakai angkutan umum. Kanan-kiriku dipenuhi
penumpang. Tapi, tak banyak yang memakai masker. Sudahlah. Aku tak peduli
tentang itu.
Keesokan harinya.
Acara
tahunan pesantren berjalan dengan lancar. Seperti biasanya. Dihadiri banyak
tamu, alumni dan orang tua santri dari berbagai daerah. Namun, tak ada aturan
protokol kesehatan. Semuanya berjalan seperti acara tahun-tahun sebelumnya.
Tanpa ada yang memakai masker, tanpa ada wastafel, apalagi saling menjaga
jarak. Yang ada, saling berpelukan dengan orang tua masing-masing. Saling
mengucapkan selamat bagi para peserta. Dan makan-makan seperti biasa. Makanan
dari prasmanan pun diambil masing-masing tanpa takaran porsi. Sendok yang kotor,
dicuci seperti biasanya. Lalu kembali disetorkan ke prasmanan untuk kembali
dipakai oleh tamu atau santri yang hendak makan. Seolah-olah, semuanya
melupakan apa yang sedang ramai di luar sana. Atau mungkin, mereka juga tak
peduli mengenai kabar bahwa Indonesia baru saja memiliki 27 kasus virus corona
di hari kemarin. Makanya, aku pun sama tak memakai masker seperti mereka. Dan
aku kira, semuanya akan baik-baik saja. Mungkin, virus corona tak akan bertahan
lama di Indonesia. Mungkin.
Sabtu, 14 Maret 2020.
Aku baru
saja tiba di rumah. Tepatnya, setelah waktu dzuhur. Aku menonton berita lagi.
Dan mengejutkan. Pasien corona sudah mencapai angka 64. Aku masih ingat persis
itu. Dan yang tak kalah penting, aku juga lupa bahwa aku tidak memakai masker
ketika dalam perjalanan pulang di pagi harinya.
Keesokan harinya.
Aku
berangkat ke pasar. Membantu Mimi untuk ikut berjualan. Tapi, hari itu aku
tidak hanya ikut berjualan. Melainkan juga menggantikan Mimi berjualan karena
Mimi hendak membeli handsanitizer di
supermarket Griya yang berada tak jauh dari pasar. Dan, mengejutkan. Mimi
bilang, pembelian handsanitizer di
Griya saat itu sudah dibatasi. Setiap satu pengunjung, hanya boleh membeli
maksimal tiga buah botol handsanitizer. Bahkan,
stoknya saja sudah menipis. Padahal, sebelum aku berangkat ke pesantren, jumlah
handsanitizer di Griya masih sangat
banyak dan belum ada pembatasan jumlah maksimal pembelian. Harga dari handsanitizer dan masker sekali pakai pun
melonjak naik. Lebih mahal dua kali lipat dari harga normal. Ditambah lagi,
kebutuhan pokok banyak diborong oleh sebagian orang. Membuat antrian kasir
Griya semakin mengular ke bagian dalam. Bukan tanpa sebab. Mereka melakukan ini
lantaran mereka takut kalau sewaktu-waktu pemerintah melarang untuk keluar
rumah. Jadi, stok kebutuhan pokok di supermarket pun ikut menipis.
Masih di bulan Maret, namun entah hari keberapa.
Diumumkan,
kasus pasien corona pertama dan kedua dinyatakan sembuh. Dan nama kedua pasien
pun sudah diketahui oleh banyak orang. Bahkan, keduanya juga sempat
diwawancarai dalam sebuah acara berita televisi yang aku tonton di pagi hari.
Namun sayang, kasus pasien corona justru terus melonjak dari hari ke harinya. Sebagiannya
ada yang meninggal. Dan sebagiannya lagi ada yang dinyatakan sembuh. Namun,
Alhamdulillah. Karena rupanya, jumlah pasien yang sembuh masih lebih banyak
dibandingkan dengan yang meninggal. Meski tetap saja, ini menjadi sebuah hal
yang ditakuti bagi banyak orang.
Kurang lebih, akhir Maret 2020.
Pemerintah mengadakan
program PSBB hampir di seluruh wilayah Indonesia. PSBB adalah singkatan dari
Pembatasan Sosial Berskala Besar. Semua orang harus tetap berdiam diri di
rumah. Bekerja dari rumah. Beribadah di rumah. Belajar di rumah. Semuanya harus
dilakukan dari dalam rumah. Dan mulai saat itulah, teknologi benar-benar
dimanfaatkan. Aplikasi Zoom, Google Meet, Ruang Guru, dan beberapa aplikasi
lainnya yang mendukung tatap muka jarak jauh dan pembelajaran menjadi aplikasi
yang lebih banyak diunduh dan digunakan. Bahkan, aplikasi WhatsApp pun menjadi
aplikasi yang tak kalah penting. Sebagian sekolah memanfaatkan grup WhatsApp
untuk saling memberikan informasi, memberikan materi pelajaran sekolah, atau
saling mengirimi foto anak didik yang sedang mengerjakan tugas di rumah.
Aku ingat.
Sejak bulan Maret itu, aku seringkali menjadi fotografer langganan adikku yang
mengerjakan tugas di rumah. Tugasnya macam-macam. Terkadang, saat adikku
menulis, aku memotretnya. Saat adikku olahraga, aku memotretnya. Saat adikku
ada tugas untuk sholat dhuha atau mengaji, aku memotretnya. Atau saat dia
mengerjakan suatu kerajinan, aku juga memotretnya. Pokoknya hampir setiap hari
kecuali hari libur, aku menjadi fotografernya ketika dia mengerjakan tugas dari
sekolah. Bosan? Kadang. Haha. Tapi untungnya, itu tidak berlangsung lama.
Karena dia sudah kelas enam saat itu. Jadi di akhir bulan April, di waktu yang
seharusnya sudah diadakan ujian nasional, tugas dari sekolahnya berhenti. Dan
aku pun tak perlu lagi memotretnya setiap hari.
O ya. Di tahun
2020 juga, ujian nasional tidak jadi diadakan. Sehingga bisa diperkirakan,
tahun 2019 (tahun kelulusan kelas dua kelas angkatanku) adalah benar-benar tahun
terakhir diadakannya ujian nasional. Padahal sebelumnya, ada desas-desus bahwa
tahun 2020 adalah tahun terakhir diadakannya ujian nasional. Sehingga pada
tahun 2021 nanti, ujian nasional tidak akan diadakan. Tapi rupanya, kemendikbud
memutuskan hal ini secara mendadak berhubung pandemi corona yang tak juga
mereda. Dan tidak dimungkinkannya untuk diadakan ujian nasional di berbagai
sekolah. Hm… Kamu tahu? Sebelumnya, adikku pernah meminta untuk mengikuti
bimbel di GO. Padahal, dia juga sudah ikut Ruang Guru. Tapi, orangtuaku tidak
mengizinkan karena biaya yang terlampau mahal dan jarak tempat bimbel yang
sangat jauh dari rumah. Aku juga sepakat. Lagipula, dia sudah mengikuti Ruang
Guru, kan? Selama Ruang Guru masih nyaman dan bisa diikuti, kenapa harus ikut
GO juga? Padahal selain itu, orang tuaku juga harus melunasi biaya pendaftaran
pesantren yang akan adikku tempati. Jadi, kami sepakat untuk secara halus
melarang adikku mengikuti bimbel GO dengan alasan biaya yang terlampau mahal,
harus melunasi pendaftaran pesantren dan jarak yang begitu jauh dari rumah. Dan
ketika pengumuman tentang tidak jadi diadakannya ujian nasional diumumkan di
televisi, jujur, aku bernapas lega. Karena jika adikku benar-benar diizinkan
untuk mengikuti bimbel di GO, rasanya uang itu terbuang percuma. Meski memang,
belajar tidak ada yang sia-sia.
Bulan Ramadhan.
Selanjutnya,
bulan Ramadhan datang. Di sebagian wilayah, mungkin terlihat ada yang berbeda.
Misalnya, masjid yang tak lagi penuh. Atau sore yang tak lagi ramai. Namun di
sekitar rumahku, semuanya masih sama. Masjid masih bisa digunakan untuk sholat
tarawih. Sore pun masih diramaikan kendaraan yang berlalu lalang untuk membeli
santapan buka puasa. Perbedaannya, hanya ada pada wajah yang tertutupi masker
mulut dan hidung.
Meski
begitu, aku tak pernah sekalipun melaksanakan sholat tarawih di masjid. Karena
selama bulan puasa tahun ini, aku melaksanakan sholat tarawih berjama’ah
bersama keluargaku di rumah. Sedangkan Mama (bapak), sesekali sholat di masjid,
namun sesekali sholat di rumah sebagai imam. Jika Mama sholat tarawih di
masjid, maka yang menjadi imam adalah Mimi. Sedangkan jika Mimi sedang
halangan, maka yang menjadi imam adalah tetehku.
Selama bulan Ramadhan, ada satu lagi perbedaan yang membuat keluargaku menjadi lebih sering berkumpul di rumah. Yaitu pasar yang hanya buka setengah hari. Karena orangtuaku adalah seorang pedagang di pasar, maka orangtuaku pun harus menutup dagangan di tengah hari. Dan ketika sore, pasar sudah sepi tanpa pedagang. Tapi, ini juga menjadi momen yang jarang terjadi. Karena yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, orangtuaku selalu membuka kios hingga menjelang Maghrib. Sehingga Mimi tak sempat memasak untuk santapan buka puasa dan lebih sering membeli makanan yang sudah masak. Jadi di tahun ini, Mimi menjadi lebih sering memasak untuk santapan buka puasa dan hanya membeli makanan manis seperti es cendol atau goyobod untuk santapan pembuka.
Tanggal 2 Juli 2020.
Aku dan keluarga mengantar adikku untuk berangkat ke pesantren.
Menggunakan mobil dan sopir yang disewa harian. Dan ketika sampai di gerbang
pesantren, mobil disemprot disinfektan. Para pengantar yang berada di dalam
mobil pun harus dicek suhu tubuhnya masing-masing. Termasuk aku.
Keluar dari
mobil, suasana yang begitu ramai memenuhi seluruh bagian pesantren. Tapi
sayang, aku tak bisa melihat kamar yang ditempati adikku secara langsung.
Bahkan, Mimi dan teteh saja tak boleh memasuki kamarnya. Hanya melihat dari
pintu. Sedangkan aku, Mama dan sopir menunggu di sekitar parkiran yang cukup
jauh dari gerbang tempat kami masuk sebelumnya. Atau jika tidak,
keliling-keliling sekitar. Pesantrennya memang sangat luas. Aku saja baru
mengelilingi daerah luar asrama putri. Bagaimana dengan daerah dalam asramanya?
Pasti sangat luas. Tapi ya, sudahlah. Waktu kami disana juga dibatasi. Mungkin
hanya satu jam. Setelahnya, kami langsung pulang lagi ke rumah.
Bulan Agustus.
Aku mengikuti UMPTKIN. Secara daring tentunya. Jika berkenan, kamu
bisa membuka halaman berikut di Kompasiana mengenai enak dan tidak enaknyaketika aku mengikuti UMPTKIN daring.
Masih pada
bulan Agustus, aku dinyatakan tidak lolos UMPTKIN. Maka, aku pun mengikuti
ujian mandiri suatu universitas Islam. Yang lagi-lagi, dilaksanakan secara
daring. Namun, beda dari biasanya. Ujian mandiri kali ini tidak lagi
dilaksanakan dengan mengisi kumpulan soal pilihan ganda. Tapi dengan mengisi
(kurang lebih) lima soal essay yang sama sekali tak ada kaitannya dengan
pelajaran sekolah. Ada sih, satu. Tentang Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, NKRI
dan Undang-undang. Sisanya, pertanyaan tentang alasan mengapa memilih jurusan
yang dipilih, kelebihan dan kekurangan diri, dan satu pertanyaan lainnya yang
sudah tidak aku ingat lagi apa pertanyaannya. Sedangkan satu lagi, adalah
pertanyaan untuk mencantumkan link youtube. Dimana link youtube tersebut berisi
video calon mahasiswa yang sedang mengaji dan menuliskan kembali ayat
Al-Qur’an. Tapi sayang, pada tanggal 10 September, keberuntungan sedang tidak
berpihak padaku. Aku tidak lolos ujian mandiri tersebut. Jadi aku masih
menganggur di rumah sampai sekarang. Menulis di blog, semauku.
Sekarang,
kita sudah berada di penghujung bulan Desember. Itu artinya, 10 bulan sudah semua
masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan virus corona. Karena pasien
corona masih terus bertambah di Indonesia. Entah sampai kapan usainya. Meski
protokol kesehatan masih terus ditegaskan untuk dilaksanakan. Dan masih ada
pula orang yang melanggar.
Sekian. Ceritaku selama masa pandemi corona di tahun 2020.
0 Comments: