Jamaah Salat Idul Adha di Alun-Alun Ujungberung/Sumber : Dokumen pribadi |
Menjelang hari idul adha, pemerintah menetapkan bahwa idul adha jatuh pada tanggal 10 Juli 2022. Namun berbeda dengan pemerintah, organisasi Muhammadiyah justru menetapkan tanggal idul adha-nya sendiri, yakni sehari sebelumnya, tanggal 9 Juli 2022.
Sebenarnya perbedaan pendapat seperti ini bukanlah hal yang asing bagi umat Islam di Indonesia. Pada hari lebaran sebelumnya, yakni idul fitri 1443 H, juga terdapat perbedaan pendapat antara pemerintah dan jemaah An-Nadzir di Gowa yang melaksanakan salat idul fitri pada 1 Mei 2022. Sedangkan pemerintah dan Muhammadiyah sepakat melaksanakan salat idul fitri sehari setelahnya, yakni pada 2 Mei 2022.
Perbedaan pendapat antara organisasi Islam dan pemerintah dalam penetapan hari raya, tentu bukanlah hal yang aneh. Namun, apa jadinya jika sebuah masjid yang tidak mengklaim diri sebagai organisasi mana pun, tapi tidak mengikuti kesepakatan pemerintah pula?
Itulah yang terjadi pada masjid di sekitar tempat tinggalku di idul adha tahun ini. Masjid tersebut bukan milik organisasi Muhammadiyah, namun tidak juga mengikuti kesepakatan pemerintah. Karena berdasarkan diskusi yang sempat dilakukan, pihak masjid menetapkan idul adha jatuh pada tanggal 9 Juli. Berbeda dengan pemerintah yang menetapkan 10 Juli sebagai hari idul adha. Padahal biasanya, setahu aku, masjid ini selalu mengikuti jadwal hari raya sesuai yang ditetapkan pemerintah. Lo ini, kok beda dari biasanya?
Memang sih, ibuku pernah bercerita tentang asal usul berdirinya masjid yang berada tepat di belakang rumahku itu. Sedangkan ibu tahu dari salah satu ustaz yang mendampingi ibu-ibu mengaji di masjid tersebut. Katanya, salah satu pendiri masjid ini adalah beliau (yang menceritakan) dan salah satu warga lainnya. Beliau (yang menceritakan) mengaku bahwa dirinya bukan Muhammadiyah. Sedangkan salah satu warga lainnya adalah anggota organisasi Muhammadiyah, yang bahkan memiliki kartu organisasi dan serangkaian keperluan organisasi. Keduanya, alhamdulillah masih hidup hingga saat ini. Namun aku kurang tahu betul apakah penetapan tanggal idul adha yang berbeda ini dipengaruhi salah satu pendiri masjid yang merupakan anggota Muhammadiyah tersebut atau tidak. Yang jelas, aku dan keluarga dibuat bingung dengan adanya perbedaan ini.
Masalahnya adalah, letak masjid tersebut sangat dekat dengan rumah. Sedangkan aku dan keluarga lebih cenderung pada pendapat pemerintah untuk sholat id di tanggal 10.
Namun, ibuku sering salat berjamaah di sana. Dan ibu mengira warga sekitar yang telah mengenal ibu akan bertanya-tanya jika beliau tidak salat id di masjid tersebut.
Baca juga : Rahmatnya Allah
Sebenarnya, tidak hanya ibu yang mengalami dilema demikian. Tapi juga bibiku. Makanya, mereka berdiskusi bagaimana caranya agar bisa salat tanggal 10 di alun-alun ujungberung tanpa ketahuan warga sekitar yang salat di tanggal 9 di masjid. Atas usul bapakku, kami (ibu, bapak, bibi, dan aku) memutuskan untuk tetap mengikuti salat id di masjid dekat rumah. Namun, niatnya bukan salat id, melainkan salat mutlak. Sedangkan salat mutlak sendiri adalah salat sunah tanpa sebab apapun. Kemudian di hari selanjutnya, kami bisa salat id di alun-alun.
Hari itu tiba. Tanggal 9.
Sebelumnya, aku kira masjid tersebut tidak jadi melaksanakan salat id di tanggal 9. Karena di hari sebelumnya, tidak ada warga yang takbiran di sana. Konon kata ibu, ada yang takbiran sih, tapi tengah malam. Sementara paginya, takbiran baru dimulai kurang lebih setengah atau satu jam sebelum khutbah id benar-benar dimulai. Ketika waktu itulah, ibu dan bapak pergi ke masjid. Sedangkan aku, yang telah mengetahui rencana mereka, enggan ikut salat karena masih mengantuk. Lagipula, mereka tidak benar-benar salat id.
Sepulang salat id di masjid, ibu langsung bersiap ke pasar untuk berjualan. Ibu juga masih berpuasa sunnah. Jadi bisa dibilang, salat id di masjid tersebut hanya formalitas. Selain karena alasan tersebut, ibu pergi ke pasar juga karena berjualan kue. Sedang biasanya, penjualan kue akan lebih meningkat dari hari-hari biasanya ketika menjelang lebaran. Aku pun menyusul beberapa jam kemudian untuk membantu ibu berdagang. Dan alhamdulillah, ya ada saja pemasukannya.
Malam hari di hari tersebut, bibi kembali ke rumah. Membicarakan bagaimana caranya agar esok hari bisa pergi ke alun-alun untuk salat id di pagi hari tanpa ketahuan warga sekitar. Lalu ibu dan bibi berencana untuk membawa mukena dan sajadah dengan dibungkus kantong plastik agar dikira akan pergi ke pasar, bukan ke alun-alun.
Esok hari lagi tiba. Aku, ibu, dan bapak, bersiap-siap salat id. Aku membawa alat salat dan koran dalam tas gendong, sedangkan ibu dan bapak membawa alat salat berbungkus kantong plastik. Agar tak dikira pergi salat id (meski sebenarnya pergi salat id) oleh tetangga, kami berangkat secara terpisah. Ibu pergi mendahului aku dan bapak. Kemudian bapak menyusul beberapa menit kemudian, dan aku berangkat paling terakhir. Dan saat aku pergi, memang sekitar rumah masih sepi. Belum ada tetangga yang berkeliaran di sekitar.
Sepanjang perjalanan, aku berbicara sendiri mengenai idul adha ini. Menurutku, idul adha ini adalah idul adha teraneh dan membingungkan yang pernah kualami. Bagaimana tidak? Kami -terkecuali aku- jadi berpura-pura salat id di masjid dekat rumah dengan niat salat mutlak di hari kemarinnya. Dan sehari setelahnya, kami -beserta aku- pergi diam-diam tanpa diketahui warga seperti seseorang yang hendak kabur. Haha. Ini sungguh konyol.
Sampai di alun-alun, aku mencari tempat yang kosong dan segera menggelar koran beserta sajadah. Tadinya ingin mencari ibu, tapi kuota internetku habis sedangkan aku belum mengisinya lagi tadi pagi. Alhasil, aku menghubungi ibu lewat SMS. Namun sayangnya tak ada balasan. Mungkin, ibu tidak membuka kotak masuk SMS.
Singkat cerita, salat id dan khutbah sudah selesai. Aku membereskan alat salat, sedangkan koran kubiarkan pada tempatnya. Ingin menunggu ibu sebenarnya. Tapi ibu ada di sebelah mana saja aku tidak tahu. Maka aku berniat pulang lebih dulu. Namun, di pinggir alun-alun ada pedagang cilor. Jadi aku membelinya sebanyak 5 tusuk dengan harga lima ribu rupiah. Ya, untungnya ibu memberi uang tadi pagi. Meski saat itu beliau mengatakan bahwa uang itu untuk infak. Tapi ya, tidak ada kotak infak sejak aku datang hingga selesainya khutbah. Maka aku memutuskan menggunakan uang itu untuk membeli cilor. Lagi-lagi, aku tertawa geli. Uang yang harusnya dipakai infak malah dipakai jajan. Hehe.
Jajan sudah, tapi tak juga kutemukan ibu. Jadi ya, akhirnya aku pulang sendirian ke rumah. Namun saat hampir sampai rumah, aku bertemu salah satu tetangga. Dan aku hanya bisa tersenyum guna menyapanya. Ya, entahlah apakah beliau tahu bahwa aku baru saja salat id di alun-alun atau tidak.
Sesampainya di rumah, ternyata ibu belum datang juga. Baru ada bapak yang pulang dari salat id. Sedangkan teteh tidak salat id karena memang sedang halangan.
Beberapa saat kemudian, ibu datang dengan membawa kantong plastik berisi mukena. Tapi tak hanya itu. Ternyata ibu juga membeli gorengan. Haha. Sama halnya denganku, ibu juga berniat menggunakan uang untuk infak. Tapi karena tidak ada kotak infak, maka uang itu digunakan untuk beli gorengan. Ya, sebuah hal yang kebetulan.
Ibu juga bercerita bahwa ketika pulang, beliau bertemu tetangga. Dan kami sama-sama tertawa geli mengalami hal yang tak pernah diduga ini.
0 Comments: