06 September 2020

Melamar 4 : Berjumpa

Melamar 4 : Berjumpa 

Aku berjalan bersama seorang wanita yang kini telah menjadi istriku. Azizah Rahayu. Gadis yang dahulu hanya berstatus sebagai saudara sepupu, namun telah aku incar diam-diam sejak empat tahun yang lalu. Alhamdulillah. Akhirnya dia menerima pinanganku. Meski pada hari itu aku sempat tak percaya diri lantaran mendengar dia telah memiliki kekasih. Namun jujur, hal itu masih membuatku bertanya-tanya. Jika pada hari itu orangtuanya berkata ia telah memiliki kekasih, tapi mengapa ia menerima pinanganku secara tiba-tiba?

“Kak Badrun! Kak Laras!” sapa istriku pada sepasang pengantin yang kami hadiri acara pernikahannya. Seraya bersalaman dengan menelungkupkan kedua tangan di depan dada pada mempelai pria dan bersalaman cipika-cipiki pada mempelai wanita. Diikuti denganku yang berjabat tangan pada mempelai pria dan menelungkupkan kedua tangan pada mempelai wanita.

“Selamat ya atas pernikahan kalian. Aku ikut senang”

“Terima kasih, Azizah. Terima kasih juga sudah menepati janji untuk datang ke pernikahan kami.”

“Sama-sama, Kak Badrun. Lagian juga kenapa gak datang, sih? Gak ada acara penting lain. Haha.”

Azizah tertawa pelan sesaat.

“Oya, Kak Badrun, Kak Laras, kenalin ini suami aku. A Akbar”

Azizah memperkenalkan aku pada kedua mempelai yang dipanggilnya dengan sebutan Badrun dan Laras. Sedangkan aku hanya tersenyum ramah menanggapi perkenalan itu.

“Loh, kamu udah nikah, Zah? Bukannya baru lamaran?” tanya Badrun yang rupanya sudah mengetahui bahwa Azizah sempat dilamar sebelumnya. Tapi jujur, aku rasa ada yang janggal dengan pertanyaannya. Kenapa dia tau tentang lamaran Azizah? 

“Sehari setelah lamaran, saya langsung menikahinya atas pernikahan Azizah sendiri. Itupun, hanya acara sederhana. Dihadiri oleh keluarga saya dan Azizah saja” aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Badrun.

“Hehe. Iya, Kak” Azizah membenarkan perkataanku dengan ekspresi yang tersipu malu. “Tapi, kita bakal adain acara resepsi, kok. Dua minggu lagi. Tepat anniversary pernikahan satu bulan”

Kemudian, Azizah mengambil sebuah kertas undangan resepsi pernikahan kami yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk diberikan pada pasangan baru tiga jam tersebut.

“Ini undangannya. Kak Badrun sama Kak Laras datang, ya”

“Insya Allah, Azizah. Kita bakal usahain buat datang ke resepsi kamu dan A Akbar. Iya kan, Laras?” Badrun meminta persetujuan kepada istrinya.

“Iyalah, Kak” jawab Laras pada Badrun dengan panggilan ‘Kak’. “Kamu tenang aja, Azizah. Aku bakal ingetin Kak Badrun kok buat datang ke acara resepsi kamu.”

“Haha. Makasih, Kak Laras”


Sepulangnya kami dari acara pernikahan Badrun dan Laras, pikiranku masih saja diliputi penasaran mengenai pertanyaan yang dilontarkan Badrun. Kenapa dia bisa tau?

“Zah” panggilku pada Azizah sembari terus fokus menyetir.

“Apa, A?”

“Aa boleh nanya?”

“Nanya apa, A? Nanya aja.”

“Badrun itu siapa?”

Azizah terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Teman.”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?” tanya penasaran. Karena memang jujur, pertanyaan itu terus mengganjal pikiranku. Ditambah lagi, pesepeda motor yang kulihat tempo lalu ketika melamar Azizah. Apa dia, Badrun?

“Cuma teman, A”

“Azizah, jujur sama Aa”

Azizah kembali terdiam. Kemudian kembali bersuara untuk menjawab pertanyaanku sebelumnya.

“Teman dekat”

Aku menghela nafas panjang.

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu sempat cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Azizah terdiam seketika. Pandangannya dialihkan ke jendela kaca mobil disampingnya. Entah benar-benar melihat jalanan, atau justru memikirkan pertanyaan yang kulontarkan.

Aku harap, Badrun bukanlah siapa-siapa dari masa lalumu, Zah. Dan semoga, keinginanmu untuk segera aku nikahi itu benar-benar murni keinginanmu. Agar kamu bisa menerima juga mencintai Aku sepenuh hatimu. 


“Badrun itu siapa?” tanya A Akbar padaku ketika kami masih dalam perjalanan pulang.

“Teman”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?”

“Cuma teman, A” Yah, Kak Badrun kenapa nanyanya pake bilang aku baru lamaran segala sih tadi?

“Azizah, jujur sama Aa”

Aku menghela nafas. Mungkin, aku harus jujur sama A Akbar kali ini.

“Teman dekat”

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

Entah kenapa, tiba-tiba perasaannku mulai tak enak. Kenapa A Akbar nanya itu, sih?

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Aku terdiam. Memandangi jalanan yang terlihat melalui jendela kaca mobi milik A Akbar. Sembari memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan. Apa aku harus menceritakan yang sebenarnya?

“Tapi, kalau kamu gak mau cerita sekarang juga gak papa kok. Kita bisa bahas ini lain kali. Atau mungkin, gak bakal dibahas lagi kalau kebetulan Aa-nya lupa.”

Maaf, A. Aku rasa, ini bukan waktu yang tepat. Lagipula, pernikahan kita baru seumur jagung. Aku gak mau masa-masa awal pernikahan kita dihiasi keributan. Tapi bagaimanapun, aku ini istri A Akbar. Aku akan selalu berusaha untuk mencintai A Akbar, seutuhnya.

30 August 2020

Melamar 3 : Kecewa
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar 3 : Kecewa 

"Kak Badrun?" sapaku pada seorang lelaki yang rupanya sudah menunggu di balik jendela kamarku.

"Assalamu'alaikum, Azizah"

"Wa'alaikumussalam, Kak"

"Kamu cantik, Azizah. Tapi kenapa mata kamu berair? Kamu habis nangis, ya?"

Aku tersenyum. Pertanyaan yang Kak Badrun lontarkan begitu hangat terdengar ditelingaku. Menunjukkan perhatian yang selama ini membuatku selalu mengharapkannya.

"Aku... aku dilamar A Akbar, Kak. Dia sepupu aku"

"Kamu dilamar? Ya bagus, dong. Terus kenapa kamu nangis?"

Seketika, hatiku terpukul melihat raut wajah dan mendengar perkataan Kak Badrun.

Tidakkah Kak Badrun tau? Yang aku harapkan itu Kak Badrun. Bukan A Akbar, teriakku dalam hati.

"Aku bilang sama Ibu, kalau aku udah punya pacar, Kak" jawabku pada Kak Badrun seraya mengatur deru nafasku dengan baik. Berusaha agar emosiku tak membuncah.

"Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?"

Aku terdiam. Tak ingin menjawab pertanyaan Kak Badrun.

"Tapi kalau boleh Kakak saranin sih, sebaiknya kamu terima aja lamaran sepupu kamu itu. Setidaknya, dia udah nyatain perasaannya sama kamu. Langsung ngelamar kamu lagi hari ini."

Aku terdiam, lagi.

"Lagian ya Zah, cari cowok yang serius itu susah loh menurut kebanyakan cewek. Selain itu, yang aku tau sih cewek tuh gak boleh nolak lamaran lelaki sholeh.”

"Kakak itu cowok. Tau dari mana kalau cewek susah nyari cowok yang serius?"

"Kan tadi Kakak bilang. Menurut kebanyakan cewek. Dan salah satunya, calon istri Kakak. Laras."

Calon istri? Apa aku tak salah dengar?, tanyaku terkejut dalam hati.

"Calon istri?"

"Iya. Kakak belum cerita ke kamu, ya? Jadi gini. Dua bulan yang lalu, Kakak ngelamar Laras. Dan dua minggu lagi, Kakak dan Laras bakal nikah. Kamu datang ya nanti."

Jadi, Kak Badrun bakal nikah dua minggu lagi?, tanyaku dalam hati tak percaya. Ini semua tak pernah kuduga sebelumnya. Kenapa harus terjadi?

"Ini" Kak Badrun memberiku sebuah kertas undangan berwarna biru muda dengan inisial pengantin B & L. "Sebenarnya Kakak kesini mau ngasih undangan buat kamu. Tapi karena Kakak liat kamu abis nangis, jadi Kakak mau dengerin curhat kamu dulu aja"

Tapi maaf, Kak. Kedatangan Kak Badrun hari ini justru semakin membuatku ingin menangis lagi, batinku.

"Undangannya bagus, Kak. Insya allah aku datang nanti." 

Aku meraba-raba kertas undangan yang diberikan Kak Badrun. Meneliti satu sisi ke sisi lainnya. Meski separuh hati terluka. Karena ini adalah salah satu cara agar kesedihanku tak begitu kentara meski Kak Badrun berada tak jauh dariku.

"O iya. Katanya kamu punya pacar, kan? Kalau boleh tahu, siapa nama pacar kamu?"

Aku membalikkan tubuhku membelakangi jendela kamar.

"Sebenarnya dia bukan pacar aku, Kak. Tapi dia adalah orang yang pernah membuatku merasa nyaman dan berharap. Namanya Badruzzaman"

Satu detik. Dua detik.

"Maksud kamu, orang itu adalah Kakak?"

23 August 2020

Melamar 2 : Datang
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar 2 : Datang

Hari beranjak siang. Jalan raya yang tadinya dipadati begitu banyaknya kendaraan, kini mulai menyisakan celah untukku lewati bersama sepeda motor yang kukendarai. Untuk pergi menuju tempat yang menjadi tujuan utamaku hari ini.

---

Aku melambatkan laju sepeda motorku begitu melihat sebuah mobil pribadi terparkir  di depan teras rumah Azizah. 

Itu benar rumah Azizah, kan? Kok ada mobil, ya? Bukannya keluarga Azizah gak punya mobil? Atau, baru beli belakangan? Atau mungkin, lagi ada tamu dirumahnya? serentetan pertanyaan melewati pikiranku begitu saja. Tapi ya sudahlah. Aku harus tetap menemuinya hari ini.

---

Aku kembali melambatkan laju sepeda motorku. Dan kali ini, aku tepat berada di samping kiri mobil pribadi yang kulihat sebelumnya dari kejauhan. Persis di seberang teras rumah Azizah dan pintu ruang tamu yang terbuka. Namun tunggu. Sepertinya ada tamu di luar sana. Seperti yang telah aku duga sebelumnya. Tapi, aku tak melihat sang tuan rumah yang biasanya kutemui. Tak ada juga Azizah yang ingin kutemui. Kemana mereka? tanyaku pada diriku sendiri. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menemui Azizah melalui jendela kamarnya yang pernah ia tunjukkan padaku.

---

Tanpa menunggu waktu hingga lima menit, kini aku telah berdiri di samping jendela kamar Azizah. Mempersiapkan diri baik-baik. Menyusun kata-kata serapi mungkin agar taak menyinggung ataupun menyakiti perasaan Azizah. Oh, itu tak boleg terjadi.

TOK! TOK! TOK!

Aku mengetuk jendela kaca yang menghasilkan suara yang cukup keras. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa jendela itu akan dibuka oleh pemiliknya.

TOK! TOK! TOK!

Aku mengetuk jendela kaca yang sama lagi. Seraya memanggil pemilik jendela kamar tersebut.

"Azizah"

Tak ada jawaban.

"Azizah"

Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya kembali. Kemudia terdiam beberapa saat. Berharap Azizah bisa mendengar suaraku dari dalam sana dan bersedia membuka jendela kamarnya.

"Azizah? Ini Kak Badrun" panggilku dengan suara yang lebih keras lagi. Kemudian menyandarkan diri di dinding samping jendela kamar Azizah yang memanjang dari atas ke bawah.

"Kak Burhan?" 

Suara itu terdengar jelas disampingku. Ternyata Azizah telah membuka jendela kaca kamarnya sedetik yang lalu tanpa aku sadari.

"Assalamu'alaikum, Azizah"

"Wa'alaikumussalam, Kak"

"Kamu cantik, Azizah. Tapi kenapa mata kamu berair? Kamu habis nangis, ya?"

"Aku... Aku dilamar A Akbar, Kak. Dia sepupu aku"

16 August 2020

Melamar
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar

 Akbar dan kedua orangtuanya tengah duduk menunggu dengan rasa cemas. Setelah menengok ke luar rumah dan melihat ada seorang lelaki bersepeda motor yang juga memperhatikan ruang tamu yang ditempatinya, perasaan Akbar menjadi tak enak. Ditambah lagi pembicaraan Bibi dan Pamannya yang tak sengaja terdengar Akbar walaupun cukup berbisik-bisik. Ah tidak. Perasaan Akbar semakin kacau balau karena ternyata sepupunya yang menjadi pujaan hatinya itu telah memiliki pacar yang tak pernah ia kenali.

"Abah, Akbar mau pulang aja" bisik Akbar pada Abahnya yang ada di sampingnya.

"Loh kok kamu tiba-tiba mau pulang, Bar? Calonmu itu belum keluar loh. Lagi pula belum ada keputusan juga dari paman dan bibimu itu"

"Pokoknya Akbar mau pulang aja, Abah. Azizah itu bukan calonnya Akbar"

"Akbar, Abah pun tahu kalau Azizah itu sudah punya pacar dari bisikan mereka. Tapi itu bukan berarti Azizah menolak kamu"

"Tapi, Bah...."

Ucapan Akbar terpotong. Tergantikan oleh suara deheman dari sang tuan rumah pria.

"Ehm" Ayah dari gadis yang dilamar Akbar itu menduduki sofa tunggal yang sangat dekat dengan sofa tempat Abah, Akbar dan Uminya duduk. "Sebelumnya, saya sangat berterima kasih pada nak Akbar, A Rusdi juga Teh Dewi yang telah datang kemari untuk melamar anak saya yang bernama Azizah. Tapi sayangnya, kedatangan yang begitu mendadak ini membuat anak saya kaget dan belum siap untuk menjawabnya. Ditambah lagi, Azizah itu ternyata sudah memiliki kekasih yang tak pernah saya ketahui. Karena memang, Azizah itu jarang sekali bercerita pada saya ataupun ibunya. Sehingga saya pun tidak mengetahui siapa saja yang ia kenali atau tengah dekat dengannya" ucap sang tuan rumah dengan pelan dan berhati-hati untuk memilih kata yang pantas dikeluarkan agar tak menyakiti perasaan Akbar dan keluarga. Namun sehati-hati apapun perkataan yang dikeluarkan oleh pamannya, tetap saja Akbar merasa kecewa. Walaupun sebenarnya ia mengetahui bahwa penolakan adalah hal yang sangat mungkin terjadi ketika melamar seorang wanita.

Selang beberapa menit setelah sang tuan rumah menyatakan bahwa anaknya menolak lamaran dari Akbar, akhirnya Akbar dan kedua orangtuanya pun izin pamit untuk pulang. Walaupun harus menerima kenyataan yang cukup mengecewakan.

"Mungkin ada wanita lain yang lebih bisa mendampingimu kelak, Akbar" adik ipar dari Abah Akbar itu menyemangati Akbar ketika mengantarnya ke teras rumah.

"Terima kasih, Paman" balas Akbar pada pamannya. Kemudian mencium punggung tangan kanan beliau yang bertanda Akbar akan segera pulang.

"Sama-sama, Akbar"

"Bi, Akbar pamit dulu" ucap Akbar pada adik dari Abahnya. Kemudian mencium punggung tangan kanan beliau seperti ia mencium punggung tangan pamannya.

"Hati-hati, Akbar"

"Iya, Bi. Terima kasih"

"A Akbar!" seru seorang perempuan dari dalam rumah dengan matanya yang berair dan mengenakan kerudung yang tak lagi rapi. "Azizah terima lamaran A Akbar. Dan Azizah mau kita nikah secepatnya"

06 May 2020

Jaket Merah Jambu 4 : Pernikahan
Jaket Merah Jambu 4 : Pernikahan
Rayhan menatap kertas undangan berwarna coklat muda yang dipegangnya. Sungguh, ini adalah pertama kalinya ia mengalami hal ini. Ditinggal nikah oleh seseorang yang dicintainya. Kenapa pula ia ditakdirkan untuk bertemu Ine? Hingga jatuh cinta padanya? Namun, takdir adalah takdir. Tak bisa ia sanggah jika memang sudah terlewati. Ia sudah dipertemukan dengan Ine yang telah membuatnya jatuh hati, dan dibuat patah hati karena perasaannya sendiri. Ya. Ia tak bisa begitu saja menyalahi Ine. Lagi pula itu haknya. Untuk dipilih dan menerima. Dan Rayhan, harus menerima keputusan itu.
Tiga minggu telah berlalu sejak kabar Ine akan menikah terdengar di telinga Rayhan. Tapi kenapa perasaan itu belum hilang? Kenapa ia masih merasa kepedihan yang begitu dalam? Bukankah ia telah mengikhlaskan Ine untuk orang lain?
“Han, dicari lagi tuh sama santri putri di depan” panggil Ade.
“Siapa sekarang?” Rayhan bertanya dengan kata ‘sekarang’, karena ini memang sudah ketujuh kalinya beberapa santri putri bolak-balik mencarinya hanya untuk meminta mengantarkan mereka ke pernikahan Ine.
“Pipit sama Sarah”
Rayhan terdiam dalam kebisuan. Kedua matanya masih memandangi kertas undangan coklat muda milik pasangan Ine Rahmawati dan Robi Afrizal Rizki.
“Ayolah, Han. Sampeyan tuh jangan galau terus. Bangkitlah, masih banyak cewe lain”
“Tapi gak tau kenapa saya bener-bener tresno sama Ine, De”
“Iya, saya ngerti. Saya juga pernah sakit hati kaya sampeyan, Han. Emang susah ngelupainnya. Tapi kan butuh waktu. Gak bisa kalau cuma sehari aja terus tiba-tiba sampeyan ngelupain orang yang sampeyan tresnoi. Mboten saged, Han” Riko berusaha membujuk Rayhan dengan halus agar segera mengikhlaskan Ine.
“Gimana ya, De?” kali ini Rayhan melepaskan pandangan dari kertas undangan itu.
“Bismillah.. sampeyan anterin aja dulu tuh santri putri. Kasian loh udah bolak-bolak terus kesini cuma buat nyariin sampeyan”
“Gak ada orang lain apa yang bisa nganterin?”
“Yang bisa nganterin sih banyak. Tapi cuma sampeyan yang tau tempatnya”
“Astaghfirullah…”

 27 Maret 2019
From : pengurus putri
Kang, berangkat ke undangan jam 2 ya. jangan sampai lupa
Rayhan membaca pesan itu dengan ragu. Jam 2 siang. Ia harus menuju tempat dimana ia akan bertemu dengan orang yang masih disukainya, namun bersanding dengan lelaki lain di pelaminan.
15.15 WIB
Semua santri putri yang ikut serta pergi ke undangan bersorak sorai karena telah sampai ke tempat yang dituju. Ingin segera menemui salah seorang temannya yang tengah bersanding di pelaminan, dan mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Mang, masuk yu” ajak Sarah yang juga ikut ke undangan pada Rayhan.
“Nanti, Sar. Duluan aja”
“Beneran?”
“Iya. Sarah duluan aja sana. Nanti ketinggalan yang lain tuh”
“O iya” Sarah menyadari kalau para seniornya telah berjalan ke area undangan “Ya udah deh, Sarah duluan ya mang. Yuk Mel” Sarah mengajak Mela yang menemaninya untuk mengajak Rayhan terlebih dahulu sebelumnya.
“Ayo” jawab Mela. “Duluan, Kang”
“Iya” jawab Rayhan.
Rayhan terdiam diatas jok sepeda motornya. Bingung ingin hendak kemana dan harus berbuat apa pada saat itu. Apa saya pulang aja? Tapi mang supir hafal jalan pulang gak ya? Aduh… saya belum sanggup ngeliat Ine Ya Allah, Rayhan berbicara dalam hati.
“Kang, gak ke dalam?”
“Eh, astaghfirullah. Saya lupa, mang” Rayhan terkagetkan dengan teguran dari mang supir yang membawa mobil rombongan santri putri.
“Lupa?” mang supir itu terheran-heran.
“E… ngga kok, Mang. Saya kedalam dulu, ya” Rayhan terburu-buru turun dari sepeda motornya. Kemudian berjalan menuju area undangan.

“Ine” Rayhan berbisik pada dirinya sendiri begitu melihat Ine yang bersanding di pelaminan dengan seorang lelaki yang diduga bernama Robi. Sedang bersalam-salaman dengan para tamu undangan dan menyapa mereka dengan ramah. Namun tak diduga, kedua mata Ine mengarah ke tempat Rayhan berada. Membuatnya sedikit kaget dan ingin segera menyapa Rayhan.
“Rayhan”
Rayhan segera mengalihkan pandangannya. Berpura-pura untuk melakukan sesuatu, meski ia sendiri tidak tau apa yang harus ia lakukan karena terlalu gugup dengan tatapan Ine.
“De, ada apa?” Tanya Robi, seorang lelaki yang kini telah menjadi pendamping hidup Ine.
“E.. enggak kok, Mas” jawab Ine pada suaminya.

“Loh, kamu Rayhan bukan? Teman Ine yang ke rumah buat ngembaliin jaket itu?” lontaran pertanyaan dari Pak Fadil –Abah (ayah) Ine- itu mengagetkan Rayhan dari samping. Pak Fadil mengenalinya. Karena memang kunjungan Rayhan ke rumah Ine tempo lalu itu cukup lama. Sehingga Pak Fadil semakin mudah mengenali wajah dan gerak gerik tubuh Rayhan.
“Oh, iya Abah” jawab Rayhan sedikit gugup. Kemudian membungkukkan badan untuk menyalami Pak Fadil “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam.. Gimana kabarmu, Nak Rayhan?” Pak Fadil menepuk-nepuk punggung Rayhan.
“Alhamdulillah baik, Abah. Abah sendiri gimana kabarnya?” Rayhan bertanya dibalik kesedihan yang disembunyikannya.
“Baik juga..”
“Alhamdulillah kalau begitu”
“Kamu kesini sama siapa, Nak Rayhan?”
“Sama santri putri, Abah. Perwakilan dari teman-temannya Ine” ucap Rayhan sembari menunjuk para santri putri yang sedang makan setelah menyalami Ine.
“O… iya iya” Pria yang dipanggil ‘Abah’ itu mengangguk-angguk. “Hm… sekarang, kamu sudah punya calon?”
Pertanyaan Pak Fadil itu membuat Rayhan gugup setengah mati.
“Belum, Abah. Belum ada yang nyangkol” jawab Rayhan dengan sedikit gurauan. Meski dalam hatinya, ia menginginkan putri dari Pak Fadil bernama Ine Rahmawati-lah yang menjadi pendampingnya. Namun ia tersadar itu hal mustahil baginya karena Ine telah menjadi istri dari lelaki lain.
“Oh… tidak apa-apa ya, nak Rayhan. Kamu ini anaknya baik kok, sopan juga. Jadi insya allah jodoh kamu akan baik-baik juga kelak. Dan pasti akan datang pada waktu yang tepat.”

29 April 2020

Jaket Merah Jambu 3 : Keputusan
Jaket Merah Jambu 3 : Keputusan
“Mba, Sarah ada?” Rayhan bertanya pada salah seorang santriwati yang kebetulan lewat di depannya.
“Ada, Kang. Saya panggilin dulu, ya”
“Nggih, Mba”
Tak lama kemudian, Sarah datang.
“Mang Rehan” Sarah memanggil Rayhan yang membalikkan badannya dari pintu pondok putri.
“Eh, Sarah.”
“Mana, Mang?”
“Mana apanya?” Rayhan mencoba bergurau.
“Uangnya lah. Sarah dibestelin mang kan buat minta uang.”
“Ih. Minta uang mulu. Makanya kalau di pondok tuh yang hemat. Jangan boros-boros. Kasian tuh ibu-bapakmu.”
“Iya, Mang. Tapi kan Sarah lagi butuh”
“Butuh buat apa?”
“Ya butuh buat bayar bulananlah.”
“Terus?”
“IIh. Nanya terus Mang mah. Mana uangnya?”
Rayhan menarik nafas dan kembali mengeluarkannya. “Iya iya. Ini mang Rehan kasih nih.”
“Nah, gitu dong Mang. Gak dari tadi gitu”
Rayhan mengambil amplop yang berisi beberapa helai uang titipan kakaknya. Yang tentu, untuk diberikan pada anak dari kakaknya.
“Nih”
“Oke. Matur suwun, mang Rehan”
“Sami-sami”
Sarah menyimpan amplop yang diterimanya di saku rok. Kemudian ia teringat, tentang pesan dari Ine untuk disampaikan pada Rayhan.
“Mang, udah tau belum?”
“Belumlah. Sarah kan belum ngasih tau”
“Iih, mang. Sarah serius”
“Apa sih?”
“Ini pesan dari mba Ine. Katanya Sarah harus bilang sama mang Rehan.”
Begitu mendengar nama Ine disebut, Rayhan mempertajam pendengarannya.
“Napa?”
“Em… Mba Ine mau nikah, Mang” Sarah berbicara dengan hati-hati pada Rayhan.
“Nikah?” Rayhan melongo tidak percaya. Hatinya tiba-tiba seperti tertusuk pedang tajam berkali-kali. Sungguh?


Pagi itu, Rayhan dan Ade baru saja selesai membereskan area pesantren. Dan karena kelelahan, akhirnya mereka istirahat sejenak di atas loteng sambil menikmati segelas kopi susu hangat.
“Han, wis weru durung?” tanya Ade setelah menyeruput kopi susu yang berwadah gelas plastik bening sekali pakai.
“Weru apa?” heran Rayhan.
“Ine”
“Ine? Ana apa toh?” Rayhan pura-pura tidak tahu.
“Sampeyan tresno ning Ine, dudu?”
“Eleh. So tau sampeyan, De”
“Emang iya, toh?’
Rayhan mengalihkan pandangan. Sembari menarik nafas kasar.
“Han?”
“Hem?” saut Rayhan tanpa mengalihkan pandangannya.
“Sampeyan wis weruh kalau Ine bakal nikah bulan depan?”
“Wis”
“Weru seng sopo sampeyan?”
“Keponakanku lah. Dia kan deket banget sama Ine itu”
“Sabar ya, Han.”
“Calonnya orang Sunda. Katanya sih Ine mau sama calonnya itu gara-gara calonnya udah ngebiayain Ine mondok. Ine gak enakan kalau nolak katanya.”
“Hah? Serius sampeyan?”
“Iyalah. Saya denger dari Inenya sendiri”
“Kapan sampeyan ngobrol?”
“Wingi. Ngebesteli Sarah”
“Uhm..” Riko menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jaman sekarang. Harta bisa ngalahin cinta”
“Iya, De. Saya jadi galau ini”
“Sampeyan mau ngerelain Ine, Han?”
“Iyalah. Arep apa? Calon Ine duweni harta. Lah kulo apa? Bulanan bae durung bayar”
“Ya… aja mengkononlah, Han. Tresno sih tresno bae. Tapi aja ngerendahaken awak dewek nemen.”
“Lah, itu kan nyata, De. Saya emang miskin”
“Eh… ngomong apa sih sampeyan”
“Mboten”
Beberapa saat hening. Tak ada ucapan yang keluar dari mulut mereka. Yang ada, hanyalah suara dua kucing yang saling bersautan dari lantai dasar.
“Sampeyan ra bakal merjuangin cintanya Ine?”
“Ora, De. Wis pasti bakal kalah aku.” Rayhan menyeruput kopi susunya yang sudah tersisa sedikit lagi. “Tapi, alasan Ine emang masuk akal juga sih. Mana mungkin dia nolak kalau calonnya udah ngebiayain dia sampe 3 tahun mondok.”
“Tapi kan, Han” suara Riko terpotong oleh Rayhan.
“Wislah, De. Kulo pengen adus iki. Panas.” Rayhan bangkit dari duduk selonjornya.
“Ya wislah.” Riko pasrah melihat tingkah teman sejolinya itu yang sedang patah hati berat. “Awas, Han! Aja ngelamuni Ine ning wc!”
“Oralah”
Setelah Rayhan sudah cukup jauh melangkah, Ade baru menyadari kalau Rayhan meninggalkan sampah gelas plastik bekas kopi susu. Mengingat, biasanya Rayhanlah yang selalu menegurnya jika ia meninggalkan sebuah sampah, walaupun hanya sebungkus permen.
“Rayhan… rayhan. Saking lara atie sampeyan sampe lupa buang sampah”
Akhirnya, Ade bangun dari duduknya dan mengikhlaskan diri untuk membuang sampah bekas teman sejolinya.