Kantor Republika Jawa Barat |
Rupanya, kita magang di sana gak cuma berdua. Iva lebih dulu ditawari Ihsan, pacarnya, yang pernah ke kantor ReJabar (singkatan Republika Jawa Barat) untuk tugas industri visit. Untungnya, kita gak bertiga. Ada Kinan juga yang mau magang di sana. Setidaknya, aku gak akan jadi nyamuk di antara mereka berdua. Tapi sayangnya, Kinan gak jadi magang di ReJabar dan lebih memilih magang di kota kelahirannya. Dan seolah digantikan, tiba-tiba ada Haikal juga yang akhirnya ikut magang kami bertiga. Jadi, fix-nya, ada empat orang yang magang di ReJabar.
Akhir Desember 2023, kami pergi ke kantor pertama kali untuk menjumpai atasan di Republika. Dan, kami langsung diterima. Hanya saja, ReJabar mengharuskan kami magang selama 3 bulan. Padahal, kami hanya diwajibkan magang selama 1 bulan oleh jurusan. Jadi mau gak mau, kami harus kuliah sambil magang di 1 bulan terakhir masa magang. Tapi ya, gak papa juga. Toh nanti bakal terlewat juga kok.
Esok harinya, kami kembali ke sana untuk mulai magang. Tapi yang tidak kutahu, ternyata sudah ada Syfa dan Silmi yang juga magang di sana. Singkat cerita, di pertengahan Januari, jumlah peserta magang bertambah menjadi 13 orang. Itu pun berasal dari jurusan dan kampus yang sama, yakni KPI UIN BDG, dan 2 orang lagi dari kampus STIKOM.
Selama magang, kami diwajibkan hadir di kantor, setidaknya 3 hari per minggu. Selain ke kantor, kami juga mesti liputan. Bisa di 3 hari itu, atau kalau mau, bisa juga di hari lainnya.
Tapi, berbeda dari yang kukira, ternyata kami diprioritaskan untuk membuat konten media sosial. Jadi ketika kami liputan, ya liputannya untuk konten video. Ada scriptwriter, videografer, editor, dan voiceover, atau talent kalau diperlukan.
Baca juga: Jembarati, Penginapan dengan Pemandangan Gunung Merapi
Jujur, menurutku ini seru. Kami ditugaskan liputan ke tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah aku singgahi. Katakan saja, seperti Pasar Loak Astana Anyar dan Museum Inggit Garnasih yang berlokasi tak jauh dari Taman Tegalega. Karena selama ini, kalau aku jalan-jalan, ya gak jauh-jauh dari Asia Afrika dan Braga. Whehe.
Tapi, meski sering main ke Braga, ternyata ada juga tempat yang belum aku tahu. Salah satunya Pasar Antik Cikapundung. Haha. Lokasinya memang sering dilewatin kalau lagi jalan-jalan. Tapi Pasar Antik itu berada di lantai 3 di dalam gedung Cikapundung Electronic Center (CEC). Jadi ya aku tidak tahu. Masuk CEC saja aku jarang.
Selain itu, kami juga berkesempatan untuk meliput kondisi Braga pasca banjir pada awal Januari lalu. Yap, di balik estetiknya Braga yang terlihat di konten-konten media sosial, ada daerah pemukiman yang terdampak banjir akibat hujan deras. Hal itulah yang tidak terlihat orang-orang. Dan aku merasa beruntung pernah liputan langsung ke lokasi kejadian.
Pengalaman yang lebih langka lagi, yaitu saat aku berkesempatan untuk liputan di Gedung Sate. Ya kapan lagi aku masuk Gedung Sate kalau bukan untuk liputan kan? Haha.
Ternyata, pintu masuk Gedung Sate dijaga cukup ketat. Saat itu, acaranya adalah Launching Aplikasi Surabi dengan sambutan oleh PJ Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin. Untungnya, waktu itu aku ke sana bareng Haikal, yang udah pernah liputan ke Gedung Sate sebelumnya. Setidaknya, aku gak planga-plongo banget deh 😆.
Di akhir masa magang, tepatnya di pertengahan bulan Ramadan, aku liputan ke Masjid Lautze 2 bersama Kania dan Silmi. Karena momennya lagi Ramadan, jadi kami ambil sudut pandang bagi-bagi takjil di sana. Jujur, ini cukup berkesan sebagai liputan terakhirku. Karena tak hanya dipersilakan untuk mengambil video dan wawancara, kami juga disuguhkan takjil dan seporsi makanan ketika Maghrib tiba.
Benar-benar berkah banget deh. Belum lagi, suasana di sana begitu hangat, bagai melihat sebuah hubungan kekeluargaan meski tak ada hubungan darah. Yang bikin lebih kagum, ketika diwawancara, pengurus masjid menjawab bahwa donatur takjil dan ifthar di masjid ini berasal dari berbagai kalangan. Tak hanya yang beragama Islam. Orang-orang dari agama lain pun turut menyumbangkan hartanya untuk takjil dan ifthar. Benar-benar terkagum, kayak yang, Masya Allah, perbedaan agama benar-benar tak menghalangi kebersamaan di Indonesia ini.
Di tiga hari ketika kami ke kantor, kalau lagi gak liputan, kami mengobrol bersama atasan di Republika. Ada Pak Gunadi yang banyak bercandanya, Pak Opik yang ngajak bercanda tapi kadang serius juga tanpa diduga, Pak Edi yang lembut sekali kalau bicara, Pak Sandy yang masih muda tapi luas sekali wawasannya, atau siapa saja yang menyempatkan diri untuk mengobrol dengan kami di sela kesibukannya.
Tentu banyak ilmu yang didapat dari mereka. Dari mulai ilmu jurnalistik, sampai ilmu hitam (kecurangan di negeri ini) juga pernah disampaikan. Pokoknya nambah wawasan banget deh.
Di satu bulan terakhir magang, tiba-tiba kami dianjurkan untuk liputan dengan output tulisan. Itu pun tidak serta merta semua peserta magang harus nulis. Melainkan sesuai inisiatif diri mereka sendiri. Kalau mau, ya tinggal bilang ke Bu Arie, pimpinan redaksi ReJabar. Nanti beliau yang mengarahkan, kita harus liputan apa dan ke mana.
Ketika pertama kali mengajukan liputan ke Bu Arie, aku ditugaskan untuk liputan ke Gedung Sate seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, bersama Haikal. Tapi kali ini, kami ditugaskan untuk transkrip pidato Pj Gubernur dalam acara dan memotretnya saja. Jadi kami tidak benar-benar menulis sebuah berita.
Di liputan kedua, barulah aku ditugaskan untuk menulis sebuah feature. Tema feature-nya adalah dampak kenaikan harga beras bagi pemilik warung nasi dan ibu rumah tangga. Jadi, aku liputan dulu ke beberapa warung nasi untuk mewawancarai pemilik atau pegawainya. Tapi ya, namanya juga liputan, ada saja beberapa orang yang menolak untuk diwawancara. Alasannya, takut salah ngomong. Alhasil, aku harus cari warung nasi lain agar bisa mewawancarai pemiliknya.
Sepekan setelah liputan, aku baru menyelesaikan tulisannya karena terkendala beberapa hal. Selain itu, aku juga sempat mengikuti pelatihan konten kreator dulu di Bogor. Jadi transkripnya tertunda deh.
Beberapa hari kemudian, tulisanku benar-benar dipublikasi di website ReJabar. Meski begitu, tulisanku tidak lepas dari kesalahan tentunya. Ada beberapa sisi yang dikoreksi Bu Arie agar tulisanku layak tayang di ReJabar.
Liputan ketiga, aku ditugaskan untuk pergi ke tempat ngabuburit di Kota Bandung. Meliput kegiatan apa yang ada di sana dan mewawancarai pengunjungnya. Karena Bu Arie tidak menentukan tempat spesifiknya, jadi aku pilih saja Gasibu sebagai tujuannya. Sekaligus jalan-jalan sore juga ceritanya.
Selang beberapa hari, tulisanku dipublikasi di web ReJabar setelah dikoreksi Bu Arie sebelumnya. Sayangnya, ini menjadi tulisan kedua dan terakhirku di ReJabar. Karena masa magangku hampir habis dan aku pun mesti membagi waktu dengan kuliah.
Setidaknya, inilah sedikit ceritaku selama aku magang di Republika Jawa Barat. Sebenarnya masih banyak cerita lainnya. Tapi terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Pada intinya, magang di ReJabar itu seru. Tapi kita emang mesti menyesuaikan diri aja sama aturan di sana. Dan yang penting juga, harus inisiatif kalau misalnya mau bikin konten atau liputan apa pun.
Sekian.